Senin, 18 November 2013

Makalah Metodologi Studi Islam: Islam dan Kemanusiaan



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Tuhan, dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Hal demikian dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan. (Abudin Nata, 2012: 63). Kemudian, apa pengertian Islam secara istilah? Definisi yang sering dipakai adalah aturan-aturan Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disebarluaskan kepada seluruh umat manusia agar mereka selamat di dunia dan di akhirat. Definisi ini secara teknis benar juga, tetapi sebenarnya ada definisi yang lebih tepat yaitu, Islam adalah aturan-aturan Allah yang diturunkan kepada para utusan-Nya sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad di mana aturan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad merupakan penyempurna bagi aturan-aturan sebelumnya untuk disebarluaskan kepada seluruh umat manusia agar mereka selamat dunia akhirat. Sedangkan manusia adalah gabungan antar unsur material (basyar) dan unsur ruhani.
Islam adalah Agama yang hadir di muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Tidak bisa dipungkiri, nilai-nilai humanisme universal memang menjadi pesan umum dari seluruh agama di dunia. Hanya saja, dalam Islam, kita dapat menemukan contoh praktisnya dalam kehidupan Rasulullah di seluruh dimensi kehidupan, dari tingkat individu hingga level negara.
Di dalam Islam kita bisa menemukan banyak aspek dalam Islam yang begitu kental dengan nilai-nilai kemanusiaan atau humanisme. Keesaan Tuhan dan kemanusiaan merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Kemanusiaan dalam Islam jauh sangat berakar dalam tradisi Islam seperti tercermin dalam fikih, tasawuf, dan akhlak. Perintah Allah agar manusia menghargai kemanusiaannya sangat terlihat dari perilaku Rasulullah SAW dalam keseharian beliau. Kita juga perlu menilik kembali tugas kita sebagai hamba Allah yang di percayakan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini, dengan cara berusaha mencontoh semua perilaku Rasulullah SAW serta memahami dengan sebenar-benarnya kedudukan kita serta makhluk Allah yang lain di bumi ini.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kedudukan Manusia dan Makhluk Allah
Jalaluddin Rakhmat (lihat Budhy Munawar-Rachman ( ed.), 1994:75-78) menulis sebuah artikel dengan judul “Konsep-konsep Antropologis”. Dalam  tulisannya, ia mengatakan bahwa  dalam Al-Qur’an terdapat tiga istilah kunci yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu: basyar, insan, dan al-nas.
Basyar  yang dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 27 kali, memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk biologis. Sebagai makhluk biologis dapat dilihat dari perkataan Maryam kapada Allah: “Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar (QS.Ali-Imran:47). Nabi Muhammad disuruh Allah menegaskan bahwa secara biologis , ia seperti manusia lain. Allah berfirman : “Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang satu. (QS.Al-Kahfi:110).
Adapun kata insan, yang dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: pertama, insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai khalifah atau pemikul amanah; kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif manusia; dan ketiga, insan dihubungkan degan proses penciptaan manusia. Semua konteks insan menunjukkan adanya sifat-sifat psikologis manusia atau spiritual.
Pada kategori pertama, manusia digambarkan sebagai wujud makhluk istimewa yang berbeda dengan hewan. Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa insan adalah makhluk yang diberi ilmu, makhluk yang diberi kemampuan untuk mengembangkan ilmu dan daya nalarnya dengan nazhar (merenungkan, memikirkan, menganalisis, dan mengamati perbuatannya).
Selanjutnya, manusia dikatakan sebagai makhluk yang memikul amanah (QS.Al-Ahzab:72). Karena manusia adalah makhluk yang menanggung amanah, maka insan dalam Al-Qur’an dihubunngkan dengan konsep tanggung jawab. Ia (insan) diharuskan berbuat baik, amalnya dicatat dengan cermat untuk diberi balasan sesuai dengan kerjanya. Oleh karena itu, insanlah yang dimusuhi setan.
Dalam menyembah Allah, insan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Apabla ditimpa musibah, insan cenderung menyembah Allah dengan ikhlas, sedangkan apabila mendapat keberuntungan, insan cenderung sombong, takabur, dan bahkan musyrik (QS.Yunus:12).
Dalam kategori yang kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif. Menurut Al-Qur’an, manusia cenderung zalim dan kafir, tergesa-gesa, bakhil, bodoh, banyak membantah dan mendebat, gelisah dan enggan membantu, ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita, tidak berterima kasih, berbuat dosa, dan meragukan hari kiamat.
Kategori yang ketiga adalah insan dihubungkan dengan proses penciptaannya. Sebagai insan, manusia diciptakan dari tanah liat, saripati tanah, dan tanah. Demikian juga basyar berasal dari tanah liat, tanah, dan air. Jalaluddin Rakhmat berkesimpulan bahwa proses penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis karakteristik basyari dan karakteristik insani. Yang pertama, unsur material, dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur basyari, yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabung dalam keseimbangan, tidak boleh mengurangi hak yang satu atau melebihkan hak yang lainnya.
Sedangkan konsep kunci yang ketiga adalah al-nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Ia disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali. Sebagai makhluk sosial, al-nas dapat dilihat dalam beberapa segi. Pertama, banyak ayat menunjukkan kelompok sosial dengan karakteristiknya. Kedua, sebagian besar manusia mempunyai kualitas rendah, baik dari segi ilmu maupun iman. Ketiga, Al-Qur’an menegaskan bahwa petunjuk Al-Qur’an bukan hanya dimaksudkan kepada manusia secara perorangan, tatapi juga menusia secara sosial.
Adapun dua komponen yang membedakan hakikat manusia dengan hewan, yaitu potensi untuk mengembangkan iman dan ilmu. Iman dan ilmu adalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Singkatnya kedudukan manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial; makhluk biologis dan makhluk psikologis. Manusia adalah gabungan antara unsur material (basyari) dan unsur ruhani. Dari segi hubungannya dengan Tuhan, kedudukan manusia adalah sebagai hamba Allah (makhluq); dan kedudukan manusia dalam konteks makhluk Tuhan adalah makhluk yang terbaik. (Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2011: 205-209).
            Makhluk adalah ciptaan Allah SWT yang juga mempunyai kedudukan. Arti hidup dalam Islam dapat diambil dari kata hayat yang berasal dari kata hidayah yang berarti hidup. Hidup sebagai mahluk Allah pada dasarnya bermula dari firman Allah:
Artinya: Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS.Al-Anbiyaa:30).

Dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 Allah berfirman tentang hakikat makhluk hidup.
Artinya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS.Adz-Dzaariyat:56).

Surat Adz-dzariyat ayat 56 mengandung makna bahwa semua makhluk Allah, termasuk jin dan manusia diciptakan oleh Allah SWT agar mereka mau mengabdikan diri, taat, tunduk, serta menyembah hanya kepada Allah SWT.
Jin dan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT juga makhluk-makhluk hidup yang lain  mempunyai tugas pokok di muka bumi, yaitu untuk mengabdi kepada Allah SWT. Pengabdian yang dikehendaki oleh Allah SWT adalah bertauhid kepada-Nya, yakni bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Semua makhluk hidup wajib mengesakan Allah dalam segala situasi dan kondisi, baik dalam keadaan suka maupun duka. Taat kepada Allah dibuktikan dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

B.     Tugas Manusia
Dengan mengacu kepada Al-Qur’an, tugas manusia adalah beribadah kepada Tuhan dalam artian umum, bukan hanya ibadah dalam artian khusus atau mahdlah. Adapun tugas ibadah dalam pengertian khusus adalah menyembah Allah dengan cara-cara yang secara teknis telah diatur dalam sunnah. Sedangkan yang dimaksud tugas ibadah dalam pengertian umum adalah adanya keyakinan bahwa seluruh perbuatan kita yang bersifat horizontal semata-mata diperuntukkan bagi Allah. (Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2011: 210).
Manusia diciptakan oleh Allah SWT agar menyembah kepada-Nya. Kata menyembah sebagai terjemahan dari lafal ‘abida-ya’budu-‘ibadatun. Beribadah berarti menyadari dan mengaku bahwa manusia merupakan hamba Allah yang harus tunduk mengikuti kehendaknya, secara sukarela dan tanpa paksaan. Ibadah terbagi ke dalam dua macam, yaitu:
1.      Ibadah muhdah (murni), yaitu ibadah yang telah ditentukan waktunya, tata caranya, dan syarat-syarat pelaksanaannya oleh nas, baik Al-Qur’an maupun hadits yang tidak boleh diubah, ditambah atau dikurangi. Misalnya shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
2.      Ibadah ‘ammah (umum), yaitu pengabdian yang dilakukan oleh manusia yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas dan kegiatan hidup yang dilaksanakan dalam konteks mencari keridhaan Allah SWT
Jadi, setiap insan tujuan hidupnya adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT, karena jiwa yang memperoleh keridhaan Allah adalah jiwa yang berbahagia, mendapat ketenangan, terjauhkan dari kegelisahan dan kesengsaraan batin. Sedangkan di akhirat kelak, kita akan memperoleh imbalan surga dan dimasukkan dalam kelompok hamba-hamba Allah SWT yang istimewa. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhainya. Maka masuklah dalam jamaah hamba-hambaku. Dan masuklah ke dalam surgaku.” (QS.Al-Fajr: 27-30)
Selama hidup di dunia manusia wajib beribadah, menghambakan diri kepada Allah. Seluruh aktivitas hidupnya harus diarahkan untuk beribadah kepadanya. Islam telah memberi petunjuk kepada manusia tentang tata cara beribadah kepada Allah. Apa-apa yang dilakukan manusia sejak bangun tidur sampai akan tidur harus disesuaikan dengan ajaran Islam.
Jin dan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT mempunyai tugas pokok di muka bumi, yaitu untuk mengabdi kepada Allah SWT. Pengabdian yang dikehendaki oleh Allah SWT adalah bertauhid kepada-Nya, yakni bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Jin dan manusia wajib mengesakan Allah dalam segala situasi dan kondisi, baik dalam keadaan suka maupun duka.
Petunjuk Allah hanya akan diberikan kepada manusia yang taat dan patuh kepada Allah dan rasulnya, serta berjihad dijalannya. Taat kepada Allah dibuktikan dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Taat kepada rasul berarti bersedia menjalankan sunah-sunahnya. Kesiapan itu lalu ditambah dengan keseriusan berjihad, berjuang di jalan Allah dengan mengorbankan harta, tenaga, waktu, bahkan jiwa. (Atang Abdurrahman Hakim dan Jaih Mubarok, 1999: 96 )
C.    Tugas Manusia sebagai Khalifatullah
Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.
Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat.
Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua makhluknya.
Manusia mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah, maka tidak akan ada manusia yang melakukan penyimpangan.
Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah. (http://www.google.com/aclk?sa=L&ai Diakses 13 November 2013).
Ketika manusia memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).
1.      Memakmurkan Bumi
Manusia mempunyai kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia harus mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan tetap menjaga kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi selanjutnya dapat melanjutkan eksplorasi itu.
2.      Memelihara Bumi
Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak manusianya sebagai SDM (sumber daya manusia). Memelihara dari kebiasaan jahiliyah, yaitu merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena sumber daya manusia yang rusak akan sangat berpotensial merusak alam. Oleh karena itu, hal semacam itu perlu dihindari.
Allah menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia. Oleh karena itu, penciptaan manusia mempunyai tujuan yang jelas, yakni dijadikan sebagai khalifah atau penguasa (pengatur) bumi. Maksudnya, manusia diciptakan oleh Allah agar memakmurkan kehidupan di bumi sesuai dengan petunjuk-Nya. Petunjuk yang dimaksud adalah agama (Islam).
Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi dengan tidak melakukan pengrusakan terhadap alam yang diciptakan oleh Allah SWT karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Seperti firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 77:
Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS.Al-Qashash: 7).
Dan dalam surat Al-Baqarah ayat 30 Allah berfirman:
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS.Al-Baqarah: 30).
Maksud ayat ini mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berfirman kepada sekalian malaikat memberitahukan bahwa, Dia akan menjadikan khalifah di muka bumi ini. Malaikat bertanya mengapa tuhan menjadikan di bumi ini orang-orang yang akan membuat kebinasaan dan menumpahkan darah atau berbunuh-bunuhan didalamnya, sedang kami (kata mereka), cukup sedia mengucap tasbih dan taqdis. Tetapi Allah menjawab; Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Abuddin Nata, 2011: 104).



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Di dalam Al-Qur’an terdapat tiga istilah kunci yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu: basyar, insan, dan al-nas. Adapun dua komponen yang membedakan hakikat manusia dengan hewan, yaitu potensi untuk mengembangkan iman dan ilmu. Iman dan ilmu adalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Singkatnya kedudukan manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial; makhluk biologis dan makhluk psikologis. Manusia adalah gabungan antara unsur material (basyari) dan unsur ruhani. Dari segi hubungannya dengan Tuhan, kedudukan manusia adalah sebagai hamba Allah (makhluq); dan kedudukan manusia dalam konteks makhluk Tuhan adalah makhluk yang terbaik.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT agar menyembah kepada-Nya. Kata menyembah sebagai terjemahan dari lafal ‘abida-ya’budu-‘ibadatun. Beribadah berarti menyadari dan mengaku bahwa manusia merupakan hamba Allah yang harus tunduk mengikuti kehendaknya, secara sukarela dan tanpa paksaan.
Manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.
Sebagai khalifah di muka bumi ini manusia wajib menjalankan tugasnya. Tugas manusia sebagai khalaifah adalah memakmurkan bumi serta memelihara bumi dari segala bentuk perusakan-perusakan yang terjadi.

Saran
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua, mohon maaf apabila ada kesalahan, karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Atang Hakim dan Jaih Mubarok.. Wawasan Islam. (Jakarta: Rineka Cipta, 1999).
Abdurrahman, Atang Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), cet. 13.
http://www.google.com/aclk?sa=L&ai (diakses 13 November 2013).
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011).
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), cet. XIX.

5 komentar:

  1. eh... dapat blog lia...heheheheeheh ;)

    BalasHapus
  2. tahniah.. bagus sekali, mohon share ye

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Mbak punya referensi buku soalnya saya cari buku referensinya tidak ada tolong dikirim fotonya

    BalasHapus