Selasa, 06 Januari 2015

Wacana (Bahasa Indonesia)



BAB I
PENDAHULUAN
            Kita telah mengetahui bahwa bahasa dapat dilihat berdasarkan tata bunyi (fonologi), bentuk kata (morfologi),struktur kalimat (sintaksis), bahkan berdasarkan kandungan maknanya (semantik) sehingga seolah-olah kita menganggap bahasa itu merupakan sesuatu yang dapat kita pisah-pisahkan berdasarkan komponen-komponennya tanpa mempertimbangkan bahwa sebenarnya komponen-komponen itu merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan di dalam konteks pemakaiannya.
Dalam kenyataannya, bahasa kita gunakan sebagai alat untuk berkomunikasi. Dengan demikian, bahasa tidak lagi dipandang sebeagi alat komunikasi yang diperinci dalam bentuk bunyi, frasa, ataupun kalimatnya secara terpisah-pisah. Kita memakai bahasa dalam wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat pertama menyebabkan timbulnuya kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu kembali ke kalimat pertama, dan seterusnya. Rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk kesatuan yang dinamakan wacana.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN WACANA
Pengertian wacana dapat dilihat dari berbagai segi.Dari segi sosiologi, wacana menunjuk pada hubungan konteks sosial dalam pemakaian bahasa.Sedangkan dari segi linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat.
Beberapa pengertian wacana adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Hawthorn (1992), wacana merupakan komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
2.      Menurut Roger Fowler (1977), wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya.
3.      Menurut Kridalaksana (2008),  wacana dalam linguistik berarti satuan bahasa terlengkap. Dalam hierarki gramatikal wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh.
4.      Menurut Hasan Alwi, dkk (2003: 419), wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk satu kesatuan. Alwi juga menyatakan bahwa pembicaraan tentang wacana memerlukan pembicaran tentang kalimat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kalimat.
Waktu kita kedatangan tamu, salam yang disampaikan oleh tamu di depan pintu kita jawab dengan salam pula. Pada saat seperti itu, baik tamu maupun kita sebagai tuan rumah menyatakan pengetahuan tentang kehadiran masing-masing, seperti pada contoh berikut.
(1)   Tamu (T)                     : Assalamualaikum.
Tuan Rumah (TR)       : Waalaikumsalam.
Salam timbal balik seperti pada contoh (1) menyatan pengetahuan Tamu ataupun Tuan Rumah tentang kehadiran masing-masing, di samping kesediaan para pemberi salam itu untuk secara tersirat menerima kehadiran masing-masing. Biarpun makna salam tersebut di atas boleh dikatakan telah luruh dan menjadi ungkapan kebiasaan untuk saling menyapa saja pada saat bertemu, dalam pergaulan ujaran itu penting sebagai pernyataan dari kedua belah pihak tentang kesediaannya mengadakan komunikasi. Karena kedua salam itu membentuk urutan yang koheren atau runtut, kita dapat menyatakan bahwa contoh (1) merupakan contoh wacana yang apik, biarpun sederhana.
      Sudah tentu, contoh (1) itu mungkin merupakan bagian atau fragmen saja dari wacana yang lebih besar. Hal itu memang demikian apabila tuan rumah, setelah membukakan pintu bagi tamunya, kemudian melanjutkan percakapannya dengan tamu seperti pada contoh (2) ini.
(2)   TR: Oh, rupanya Dik Ali. Mari, masuk!
T  : Terima kasih, Bu.
Percakapan itu diikuti oleh tindakan bersalam-salaman dan keduanya kemudian masuk ke ruang tamu dan duduk.Kemudian percakapan itu mungkin dilanjutkan dengan percakapan pada contoh (3) berikut.
(3)   TR: Bagaimana keluarga di rumah?
R  : Baik-baik saja, Bu. Di sini begitu juga, bukan?
TR: Alhamdulillah!
      Contoh lain wacana lisan yang menekankan interaksi di antara para pembicara ialah tanya jawab antara, misalnya, pasien dan dokter, polisi dan tersangka, atau jaksa dan terdakwa. Wacana tulisan yang bersifat interaksi, antara lain, ialah polemik, surat-menyurat antarilmuwan, sastrawan, sahabat, dan dua kekasih.Wacana lisan yang mementingkan “isi” dapat berupa pidato, ceramah, dakwah, kuliah, atau deklamasi. Wacana tulisan yang bersifat transaksi ialah intruksi, pemberitahuan, pengumuman, iklan, surat, undangan, makalah, esai, cerita pendek, dan novel. Apapun bentuknya, wacana mengandaikan adanya penyapa dan pesapa.Dalam wacana lisan penyapa ialah pembicara dan pesapa ialah pendengar.Dalam wacana tulisan penyapa ialah penulis, sedangkan pesapa ialah pembicara.
(4)   A: Bagaimana Bambang sekarang?
B: Sudah baik. Dia sudah tidak lagi memukuli istrinya.
Pada contoh di atas jawaban yang diberikan oleh B menyiratkan bahwa Bambang adalah orang yang sudah menikah dan dikenal sebagai suami yang suka memukuli istrinya.Simpulan atau implikasi seperti ini dinamakan implikatur.Perlu dibedakan adanya dua macam implikatur, yaitu implikatur konvesional dan implikatur percakapan.Implikatur konvesional didasarkan pada pengetahuan kita tentang dunia, sedangkan implikatur percakapan benar-benar didasarkan pada data kalimat dalam percakapan.
Contoh implikatur konvesional:
      Jangan pulang malam-malam, Ani.
Contoh implikatur percakapan:
      A: Perutku sudah keroncongan.
      B: Kan ada warung diujung jalan ini!

B.     KONTEKS WACANA
Konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana.Tiga unsur yang terakhir, yaitu bentuk amanat, kode, dan sarana perlu mendapat penjelasan. Bentuk amanat dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya. Kode ialah ragam bahasa yang dipakai, misalnya bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat daerah,  atau bahasa daerah. Sarana ialah wahana komunikasi yang dapat berwujud pembicaraan bersemuka atau lewat telepon, surat, dan televisi.
Sebuah ujaran yang sama dapat mempunyai pengertian yang berlainan jika situasi dan unsur-unsur lainnya berbeda. Perbedaan pendapat juga bias terjadi tentang orang yang sama dalam peranannya yang berbeda-beda. Unsur antarwacana atau konteks penting pula dalam menentukan penafsiran makna kerena dalam wacana pengertian sebuah teks atau bagian-bagiannya sering ditentukan oleh pengertian yang diberikan oleh teks lain. Teks di sini dapat berwujud ujaran, paragraf, ataupun wacana, dan bahkan sebuah rambu lalu lintas. Dalam menafsirkan pengertian yang terkandung dalam wacana, kita dapat menerapkan apa yang disebut prinsip penafsiran lokal. Prinsip ini menyatakan bahwa pesapa tidak membentuk konteks lebih besar daripada yang diperlukan untuk sampai pada suatu tafsiran.Begitu pula tentang waktu, penafsiran kita juga berdasar pada prinsip penafsiran lokal ini.
Agaknya dapat dipahami bahwa dalam menyesuaikan perilaku dengan kebiasaan dalam masyarakat, orang memerlukan bimbingan atau pedoman. Bimbingan secara langsung bagi manusia tiada lain adalah akalnya sendiri, dank arena itu akal bagi manusia merupakan pembimbing yang tangguh. Jadi, manusia mempergunakan akal yang didasarkan atas pengalamannya. Dengan kata lain, ia menerapkan prinsip analogi. Prinsip analogi merupakan dasar yang dipakai baik oleh pembicara maupun pendengar untuk menentukan tafsiran dalam konteks. Dalam upaya mendapatkan tempat berpijak yang sama, pengalaman-penngalaman sebelumnya yang mirip merupakan dasar bagi kelancaran komunikasi.

C.     KOHESI DAN KOHERENSI
Kohesi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana.Koherensi juga merupakan hubungan perkaitan antarproposisi, tetapi perkaitan tersebut tidak secara eksplisit atau nyata dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya.Dengan perbedaan antara kohesi dan koherensi seperti dinyatakan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada wacana yang sekaligus kohesif dan koheren, da nada pula wacana yang koheren tetapi tidak kohesif. Dengan kata lain, suatu wacana tidak mungkin kohesif tanpa menjadi koheren. Untaian kalimat yang kohesif tetapi tidak koheren tidak membentuk suatu wacana.
Kohesi dapat pula dilihat berdasarkan hubungan unsur-unsur kalimat.Unsur-unsur kalimat itu dihubungakan melalui penggunaan sebuah konjungtor. Berdasarkan konjungtor yang digunakan, kohesi mengungkapkan:
a.       Pertentangan yang dinyatakan dengan konjungtor tetapi atau namun,
b.      Pengutamaan yang dinyatakan dengan konjungtor malahan atau bahkan,
c.       Perkecualian yang dinyatakan dengan konjungtor kecuali,
d.      Konsesi yang dinyatakan dengan konjungtor walaupun atau meskipun; atau
e.       Tujuan yang dinyatakan dengan konjungtor agar atau supaya.
Kohesi dapat pula ditandai oleh pengulangan kata atau frasa, baik secara utuh maupun secara sebagian. Kohesi sering pula diciptakan dengan memakai kata yang maknanya sama sekali berbeda dengan makna kata yang diacunya. Akan tetapi, yang penting dalam hal ini ialah bahwa kata yang digantikan dan kata pengganti menunjuk ke referen yang sama. Dengan kata lain, kedua kata itu mempunyai koreferensi.
      Kohesi dalam wacana tidak hanya ditentukan oleh adanya koreferensi, tetapi juga oleh adanya hubungan leksikal.Hubungan antara kata mebel dan kursi, misalnya, hubungan hiponimi. Kuri (meja, lemari, dan beberapa yang lain) merupakan hiponim, yakni kata yang maknanya ‘dipayungi oleh’, kata mebel. Hubungan ini boleh dikatakan merupakan hubungan antara kata spesifik dan kata umum.Kursi, sebagai kata spesifik, merupakan “bagian” dari mebel. Karena kata umum selalu mencakup kata spesifik, sedangkan kata spesifik tidak pernah mencakup kata umum, maka pembolak-balikan kedua hal itu akan menimbulkan keanehan. Selain hubungan hiponomi, hubungan bagian-keseluruhan dipakai pula untuk menunjukkan kohesi dan koherensi sekaligus.Hubungan keseluruhan-bagian dapat dibagi menjadi dua macam, hubungan yang bagiannya (a) bersifat wajib dan (b) bersifat manasuka.

D.    TOPIK, TEMA, DAN JUDUL
      Wacana yang baik mempunya topik, yakni proposisi yang berwujud frasa atau kaliamt yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan. Dalam percakapan, para pembicara dapat berbicara tentang sebuah topik, masing-masing berbicara tentang topiknya sendiri, atau mereka sama-sama berbicara tentang topik yang sama. Dengan kata lain, para pembicara berbagi topik karena mereka berbicara tentang wacana yang bertopik tunggal. Berbeda dengan topik, tema lebih luas lingkupnya dan biasanya lebih abstrak.Setiap topic dapat dijabarkan lagi menjadi berbagai judul yang sifatnya lebih sempit dan menjurus.Meskipun tema, topik, dan judul dapat dibeda-bedakan, ada kalanya ketiga pengertian itu bertumpang-tindih.
E.     REFERENSI DAN IFERENSI KEWACANAAN
      Dalam wacana lisan atau tulisan terdapat berbagai unsur seperti pelaku perbuatan, penderita, perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dan tempat perbuatan.Unsur itu acapkali harus diulang-ulang untuk mengacu kembali atau untuk memperjelas makna.Oleh karena itu, pemilihan kata serta penempatannya harus jelas sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif, tetapi juga koheren. Dengan kata lain, referensinya atau pengacuannya harus jelas.
      Berbeda dengan pengacuan, inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.






BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

a.       Pengertian wacana dapat dilihat dari berbagai segi. Dari segi sosiologi, wacana menunjuk pada hubungan konteks sosial dalam pemakaian bahasa. Sedangkan dari segi linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat.
Beberapa pengertian wacana adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Hawthorn (1992), wacana merupakan komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
2.      Menurut Roger Fowler (1977), wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya.
3.      Menurut Kridalaksana (2008),  wacana dalam linguistik berarti satuan bahasa terlengkap. Dalam hierarki gramatikal wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh.
4.      Menurut Hasan Alwi, dkk (2003: 419), wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk satu kesatuan.
b.      Konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana.
c.       Ada dua macam implikatur, yaitu implikatur konvesional dan implikatur percakapan. Implikatur konvesional didasarkan pada pengetahuan kita tentang dunia, sedangkan implikatur percakapan benar-benar didasarkan pada data kalimat dalam percakapan.
d.      Kohesi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana. Koherensi juga merupakan hubungan perkaitan antarproposisi, tetapi perkaitan tersebut tidak secara eksplisit atau nyata dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya.
e.       Berdasarkan konjungtor yang digunakan, kohesi mengungkapkan:
1.      Pertentangan yang dinyatakan dengan konjungtor tetapi atau namun,
2.      Pengutamaan yang dinyatakan dengan konjungtor malahan atau bahkan,
3.      Perkecualian yang dinyatakan dengan konjungtor kecuali,
4.      Konsesi yang dinyatakan dengan konjungtor walaupun atau meskipun; atau
5.      Tujuan yang dinyatakan dengan konjungtor agar atau supaya.
f.       Wacana yang baik mempunya topik, yakni proposisi yang berwujud frasa atau kaliamt yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan.




DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi ke-enam). Jakarta: Balai Pustaka
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (edisi ke-Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Good Governance



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Sejarah Good Governance
Sejak akhir tahun 1980-an, istilah Governance mulai digunakan untuk kepentinngan yang berbeda. Tatkala istilah governance dipopulerkan, penggunaan perubahan istilah dari government ke governance lebih dimaksudkan untuk menunjukkan perlunya gelombang baru reformasi pemerintahan. Penggunaan istilah governance sebagai kongsep yang berbeda dengan government, mulai dipopulerkan secara efektif oleh Bank Dunia sejak tahun 1989. Dalam laporannya yang sangat terkenal “Sub Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth”.
Dalam laporan ini, Bank Dunia (1989) mendefenisikan governance sebagai “exercise of political of managenation”. Selanjutnya laporan ini menekankan bahwa legitimasi politik dan consensus merupakan prasyarat bagi pembangun berkelanjutan. Aktor negara (pemerintah), bisnis, dan civil society harus besinergi untuk membangun consensus dan peran negara tidak lagi bersifat regulatif, tapi hanya sebatas fasilitatif. Oleh karena itu, Abrahamsen[1] legitimasi politik dan konsensus menjadi pilar utama bagi Good Governance. Versi Bank Dunia ini hanya bias dibangun dengan melibatkan aktor non-negara yang seluas-luasnya dan melimitasi keterlibatan negara (pemerintah).

B.     Definisi Good Governance
Istilah good governance pertama kali dipopulerkan oleh lembaga dana internasional seperti World Bank, UNDP, dan IMF dalam rangka menjaga dan menjamin kelangsungan dana bantuan yang diberikan kepada negara-negara sasaran bantuan. Secara umum istilah good governance dan clean governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau memengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut MM. Billah, istilah good governance berarti mengarahkan atau mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik dalam satu negeri. Karena good governance dapat diartikan sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian. Dengan demikian ranah good governance tidak terbatas pada negara atau birokrasi pemerintahan, tetapi juga pada ranah masyarakat sipil yang direpresentasikan oleh organisasi non-pemerintah (ornop) seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Sisi lain memaknai good governance sebagai penerjemahan kongkrit dari demokrasi. Menurut Taylor, Good Governance adalah pemerintahan demokratis seperti yang dipraktikkan dalam negara-negara demokrasi maju di Eropa Barat dan Amerika. [2] Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dianggap sebagai sistem pemerintahan yang baik karena merefleksikan sifat-sifat good governance yang secara normatif dituntut kehadirannya bagi suksesnya suatu bantuan badan-badan dunia.
Santosa menjelaskan bahwa governance sebagaimana didefenisikan UNDP adalah pelaksanaan politik, ekonomi, dan admistrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pelaksanaan kewenangan tersebut bisa dikatakan baik jika dilakukan dengan efektif dan efesien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokrtis, akuntabel, serta transparan.[3]
Di Indonesia, substansi wacana good governance dapat di padankan dengan istilah pemerintahan yang baik,bersih, dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah sikap dimana kekuasaan di lakukan oleh masyarakat yang di atur oleh berbagai tingkatan pemerintahan Negara yang berkaitan dengan sumber-sumber social, budaya, politik, serta ekonomi. 
C.    Ciri-Ciri Good Governance
Good Governance memiliki beberapa ciri-ciri, di antaranya sebagai berikut:
1.      Penyelenggaraan pemerintahan, harus dapat dipertanggungjawabkan.
2.      Penyelenggaraan pemerintahan diletakkan pada mekanisme yang jelas dan diinformasikan pada semua pihak.
3.      Penyelenggaraan pemerintahan harus bersifat terbuka sehingga dapat menerima kritik dari pihak lain guna memperbaiki kinerjanya.
4.      Pemerintah diselenggarakan dengan menegakkan peraturan yang ada.
5.      Penyelenggaraan pemerintah harus mengakomodasi kepentingan bersama serta melibatkan masyarakat dan pihak swasta.
6.      Penyelenggaraan pemerintahan harus didukung oleh sumber daya yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam menjalankan tugas-tugasnya.
7.      Penyelenggaraan pemerintahan harus peka terhadap perubahanyang ada dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan itu.
8.      Sumber daya manusia yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan mampu memilih dan memisahkan kepentingan pribadi dan kelompok dengan kepentingan umum/kenegaraan.
9.      Penyelenggaraan pemerintahan harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas dan kapasitas yang ada secara optimal.[4]






BAB II
PEMBAHASAN
A.      Prinsip-prinsip Good Governance
Untuk merealisasikan pemerintahan yang professional dan akuntabel yang bersandar pada prinsip-prinsip good governance, Lembaga Admistrasi Negara (LAN) telah menyimpulkan sembilan (9) aspek fundamental dalam perwujudan good governance, yaitu:
1.      Partisipasi (Participation)
Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

2.        Aturan Hukum (Rule of Law)
Asas penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang professional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa. Tanpa diimbangi oleh sebuah hukum dan penegakannya yang kuat, partisipasi akan berubah menjadi proses politik yang anarkis. Ditambahkan pula bahwa pelaksana kenegaraan dan pemerintahan juga harus ditata oleh sebuah sistem dan aturan hukum yang kuat serta memiliki kepastian.
Sehubungan dengan itu, Santosa (2001, h. 87) menegaskan, bahwa proses mewujudkan cita Good rule of law Governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan, dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut:
a.       Supremasi hukum (the supremacy of law)
b.      Kepastian hukum (legal certainty)
c.       Hukum yang responsif
d.      Penegakan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif
e.       Independensi peradilan

3.        Transparansi (Transparency)
Transparan berarti adanya keterbukaan terhadap public sehingga dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan mangenai kebijakan pemerintah dan organisadi badan usaha, terutama para pemberi pelayanan publik.
Seperti kasus korupsi saat ini, salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak transparan. Untuk itu PBB membantu pemulihan (recovery) perekonomian Indonesia menyarankan perlunya tindakan pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan[5].
Gaffar menyimpulkan setidaknya ada delapan (8) aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:
ü  Penetapan posisi, jabatan atau kedudukan
ü  Kekayaan pejabat publik
ü  Pemberian penghargaan
ü  Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
ü  Kesehatan
ü  Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik
ü  Keamanan dan ketertiban
ü  Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.

4.        Responsif (Renponsiveness)
Renponsif merupakan salah satu asas fundamental menuju cita good governance, yakni pemerintah harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Garraf menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginan-keinginan itu, tetapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisis kebutuhan-kebutuhan mereka, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum tersebut.
Sesuai dengan asas reponsif, maka setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etik, yakni etik individual yang menuntut mereka agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional, dan etik sosial menuntut mereka agar memliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik.

5.      Konsensus (Consensus Orientation)
Konsensus, yakni pengambilan keputusan melalui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasarkan kesepakatan bersama. Cara pengambilan keputusan tersebut selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak juga dapat menarik komitmen komponen masyarakat sehingga memiliki legitimasi untuk melahirkan coercive power (kekuatan memaksa) dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan.
Dalam konsep islam juga telah diterangkan dalam Al-quran bahwa  untuk menganmbil suatu keputusan harus melalui kesepakatan bersama atau musyawarah.
Seperti dalam surat As-syura ayat 38 :
والذين استجابوا لربهم واقامواالصلوة وامرهم شورى بينهم ومما رزقنهم ينفقون (٣٨ )
Artinya:
“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
(As-syura : 38)
6.      Kesetaraan dan Keadilan (Equity)
Terkait dengan asas konsensus, transparansi dan responsif, good governance juga harus didukung dengan asas equity, yakni kesamaan dalam perlakuan(treatment) dan pelayanan. Asas ini dikembangkan berdasarkan pada sebuah kenyataan bahwa bangsa Indonesia ini tergolong bangsa yang plural, baik dilihat dari segi etnik, agama dan budaya. Karenanya prinsip equity harus diperhatikan agar tidak memunculkan hal yang tidak diinginkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai sebuah banga beradab, dan terus berupaya menuju cita good governance, proses pengelolaan pemerintahan itu harus memberikan peluang, kesempatan, pelayanan dan treatment yang sama dalam koridor kejujuran dan keadilan.
            Dalam pandangan Islam juga telah dijeslakan,
Artinya :
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak memerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (An-Nisa: 58).
7.      Efektivitas ( Eefectiveness ) dan Efesiensi ( Effeciency )
Pemerintah juga harus memenuhi kriteria efektif dan efesien, yakni berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan social. Adapun asan efisiensi biasanya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka pemerintah tersebut termasuk dalam kategori pemerintah yang efesien.
8.      Akuntabilitas (Accountability)
Adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberi kewenangan untuk mengurusi kepetingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat.

9.       Visi Strategis (Strategis Vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang.kualifakasi ini menjadi penting dalam kerangka perwujudan good governance,karena perubahan dunia dengan kemajuan teknologi yang begitu cepat.Bangsa-bangsa yang tidak memiliki sensitifitas terhadap perubahan serta perubahan ke depan,tidak saja akan tertinggal oleh bangsa lain di dunia,tapi juga akan terperosok pada akumulasi kesulitan,sehingga proses recovery-nya tidak mudah.
Untuk mewujudkan cita good governance dengan asas-asas fundamental sebagaimana telah dipaparkan di atas, setidaknya harus melakukan 5 aspek prioritas,yakni:
ü  Penguatan Fungsi dan Peran Lembaga Peradilan
ü  Kemandirian Lembaga Peradilan
ü  Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas
ü  Masyarakat Madani (Civil Society) yang Kuat dan Parsitipatif
ü  Penguatan Upaya Otonomi Daerah
Pendapat lain tentang program dari visi strategis :
ü  Penguatan dan Fungsi Lembaga Peradilan
ü  Kemandirian Lembaga Peradilan
ü  Profesionalitas dan Integritas Aparatur Pemerintah
ü  Penguatan Partisipasi Masyarakat Madani (Civil Society)
ü  Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dalam Otonomi Daerah

B.     Good Governance dalam Tinjauan Islam
Islam sebagai agama yang diturunkan Allah kepada umat manusia menaruh perhatian terhadap tata kelola pemerintahan ini, meskipun dalam al-Qur’an tentu saja tidak selalu dinyatakan dalam bentuk yang eksplisit. Islam telah menurunkan nilai-nilai dan mengajarkan prinsip-prinsip tentang tata kelola pemerintahan tersebut. Ayat al-Qur’an surah al-Hajj ayat 41.

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الأرْضِ أَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ
Artinya:
”orang-orang yang jika Kami teguhkan ke-kuasaan di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menu-naikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.
Dalam ayat ini, kita dapat melihat bahwa tata kelola pemerintahan dalam perspektif al-Qur’an adalah suatu penggunaan otoritas kekuasaan yang berorientasi pada:
1.      penciptaan suasana kondusif bagi masyara-kat untuk pemenuhan kebutuhan spriritual dan rohaniahnya sebagaimana disimbolkan oleh penegakan salat.
2.      penciptaan kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi sebagaimana dilambangkan oleh tindakan membayar zakat.
3.      penciptaan stabilitas politik dan keamanan sebagaimana diilhamkan oleh tindakan amar makruf nahi mungkar.

Dengan perkataan lain, dalam ayat ini terdapat tiga aspek tata kelola pemerintahan, yaitu:
v  spiritual governance
v  ekonomi governance
v  politikal governance.
Untuk dapat mewujudkan pemerintahan yang baik dalam tiga aspek tersebut diperlukan beberapa nilai dan asas yang melandasinya. Dengan memperhatikan ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw dapat ditemukan beberapa nilai dasar, yaitu syura, meninggalkan yang tidak berguna, keadilan, ukhuwah, dan amanah.
Pemerintah yang baik yang mau menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemerintah. Lemahnya good governance disebabkan oleh lemahnya kultur atau culture bases untuk hidup baik dan sehat. Merajalelanya budaya korupsi dan tiadanya good governance itu merupakan gejala belum berhasilnya dakwah islamiyah. Apalagi para pelaku korupsi itu sebagian besar beragama Islam. Maka yang paling bertanggung jawab tentu adalah gerakan-gerakan keagamaan itu sendiri.
Ada tiga tugas pokok pemerintahan yaitu fungsi pelayanan, fungsi pemberdayaan dan pembangunan. Pelayanan akan membuahkan keadilan, pemberdayaan akan mendorong kemandirian, dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran. Saatnya masyarakat sekarang lebih proaktif untuk mengawasi kinerja dan perilaku birokrasi.[6]
Indeks Korupsi di Indonesia kini adalah 2,9 korupsi masih menjadi persoalan di Indonesia. Korupsi menurut UU 31 Tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001 tentang Korupsi adalah perbuatan melawan hukum, dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain, dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Nabi Muhammad Saw bersabda: Barangsiapa yang merampok dan merampas atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami (yakni bukan dari umat Muhammad Saw) (HR Thabrani dan Al Hakim).
Nilai-Nilai Islam
Islam sangat menyadari pentingnya birokrasi yang handal dan terpercaya untuk menegakkan pemerintahan yang bersih (clean goverment) dengan menempuh beberapa cara[7]:
1)      Sistem penggajian yang layak. Rasulullah Muhammad Saw Bersabda: ”Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristeri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)” (HR Abu Dawud). Hadis ini memberi hak kepada pejabat atau pegawai negeri untuk mendapat jaminan perumahan, (bantuan untuk mendapat) isteri, pelayan dan kendaraan.
2)      Larangan menerima suap dan hadiah. Allah SWT SWT berfirman:
﴿وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ﴾
Dan janganlah ada sebagian kalian makan harta benda sebagian yang lain dengan jalan batil, dan janganlah menggunakannya sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar kalian dapat makan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui (hal itu).” (QS. Al Baqarah [2]; 188)
Rasulullah Muhammad Saw Bersabda:
»لَعَنَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشِ بَيْنَهُمَا«
Rasulullah SAW melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan.(HR. Ahmad, Thabrani, Al-Bazar dan Al-Hakim)
Suap biasanya diberikan sebagai imbalan atas keputusan atau jasa berkaitan dengan suatu kepentingan, yang semestinya wajib diputuskan. Rasulullah Muhammad Saw Bersabda:
Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad).
3)      Penghitungan kekayaan untuk menjaga dari berbuat curang.
4)      Teladan dari pemimpin. Para pemimpin hedaknya memberikan keteladanan, termasuk dalam soal harta.
5)      Mmemberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku kejahatan sesuai dengan hukum yang berlaku. Agar sanksi pidana memberikan efek jera kepada pelaku dan sekaligus sebagai pelajaran kepada masyarakat agar selalu waspada.
6)      Partisipasi masyarakat dalam bidang pengawasan, sekaligus bisa jadi masyarakat bisa menyuburkan perilaku korup di masyarakat
Disamping upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih sebagai prasyarat terwujudnya demokrasi dan kesejahteraan Islam sebagai agama rahmatan lil ’alamin mempunyai nilai-nilai universal yang kaya akan khasanah keadilan, keutamaan, keluruhan moral etika, menjaga keseimbangan, pemenuhan hak dan kewajiban, kesamaan derajat dan perlindungan hukum. Bahkan praktek berbangsa dan bernegara sangat nyata dalam sejarah Nabi dan al Khulafa ar Rasyidin.
Clean government (pemerintah yang bersih) adalah salah satu komponen penting yang diperlukan sebuah negara untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Islam sebagai agama yang kaya akan nilai-nilai memberikan pedoman dalam perwujudan sistem pemerintahan yang baik, agar kesejahteraan terwujud dengan baik.

C.      Good Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah
Sebelumnya perlu kita ketahui tentang pemahaman governence dan otonomi daerah, Pemahaman  governance tentu  tidak  sama  dengan  konsep  government.  Konsep government   lebih  ditujukan  pada  suatu  organisasi  pengelolaan  berdasarkan  kekuasaan tertinggi  (negara  dan  pemerintahan).  Di  sisi  lain,  governance  tidak  sekedar  melibatkan pemerintah, tetapi juga melibatkan peran di luar negara dan pemerintah sehingga pihak  yang  terlibat  menjadi  sangat  luas.  Sementara   itu,  konsep  governance  diartikan pemerintahan menunjuk pada proses, yang melibatkan unsur eksekutif,  legislatif, yudikatif, serta  masyarakat  dan  pihak  swasta.  Praktik  yang  terbaiknya  disebut  good  governance (kepemerintahan yang baik).[8]
Dalam   Undang-Undang   Nomor   32   Tahun   2004   tentang   Pemerintahan   Daerah memberikan makna otonomi daerah pada Pasal 1 Ayat 5:
“Otonomi  Daerah  adalah  hak,  wewenang  dan  kewajiban  daerah  otonom  untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan”.
Dengan otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan  yang  dimiliki.
Good Governance dalam kerangka otonomi daerah menurut Pandangan Fikih Kontemporer. Bila kita kaitkan dengan syari’ah, maka pertanyaannya adalah apakan hakikat governance dalam perspektif fiqh kontemporer? Tidak ada suatu rumusan jadi dan baku mengenai ini. Namun dari berbagai pernyataan terpancar didalam berbagai sumber syari’ah kita dapat mengkonstruksi suatu pengertian good governance menuruf pandangan syari’ah. Untuk ini kita dapat membaca ayat Al-Qur’an seperti Q.S. Hûd, 11:
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ
Artinya:
”Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya [maksudnya: manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia], Karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."

D.    Peranan Good Governance
1)      Pemberdayaan Masyarakat
Masyarakat sipil sebagai kontrol politik, memiliki posisi amat strategis secara politik, karena sebagai organ vital demokrasi di luar struktur kelembagaan formal.
2)      Pelayanan Publik
Untuk menciptakan pelayanan publik yang berkualitas, pemerintah membutuhkan suatu perubahan paradigma/pola pikir untuk mencari kombinasi yang tepat antara pendekatan bottom up dengan top down, partial dengan comperhensive serta keseimbangan antara inward looking dengan outward looking.
3)      Korupsi dan good governance
Penerapan good governance di negara kita menghadapihambatan besar di tengah masyarakat yang korup dan kekuatan civil society yang masih lemah. Pemberantasan korupsi merupakan agenda utama proyek governance.
4)      Pemerintah daerah dan good governance
Pemerintah daerah sedang menerapkan dan menegakkan good governance.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Good governance and clean governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau memengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun prinsip-prinsip good governance adalah:

1.      Partisiapasi
2.      Penegakan Hukum
3.      Transparansi
4.      Responsive
5.      Consensus
6.      Kesetaraan
7.      Efektivitas dan Efesiensi
8.      Akuntabilas
9.      Visi strategis


 Untuk mewujudkan cita good governance dengan asas-asas fundamental sebagaimana telah dipaparkan di atas, setidaknya harus melakukan 5 aspek prioritas,yakni:
1.      Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan
2.      Kemandirian lembaga peradilan
3.      Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah
4.      Penguatan partisipasi masyarakat madani (civil society)
5.      Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang : PT. Tanjung Mas Inti, 1992.
Anwar, Prof. Dr. H. Syamsul. 2007. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Books.
Sabarno, Hari. 2007. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Srijanti, dkk. 2007. Etika Berwarga Negara. Jakarta: Salemba Empat.
Ubaedillah, A, dkk. 2008. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
             . 2012. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Yeremias, T. Keban. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik. Yogyakarta : Gava Media
Yusanto, Ismail. 1998. Islam Ideologi Refleksi Cendekiawan Muda. Bangil: Al Izzah.



[1]               Wiratraman, 2007
[2]  Saiful Mujani 2001
[3]  Mas Ahmad Santosa 2001 hlm. 86
[4]   Braton dan Rothchild (1994) Ciri-ciri good governance
[5]   Michael Camdessus,1997.
[6]   Chozin Chumaidy, 2006
[7]   Ismail Yusanto, 1998
[8]  Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2007, hal. 16