BAB I
PENDAHULUAN
Kita
telah mengetahui bahwa bahasa dapat dilihat berdasarkan tata bunyi (fonologi),
bentuk kata (morfologi),struktur kalimat (sintaksis), bahkan berdasarkan
kandungan maknanya (semantik) sehingga seolah-olah kita menganggap bahasa itu
merupakan sesuatu yang dapat kita pisah-pisahkan berdasarkan
komponen-komponennya tanpa mempertimbangkan bahwa sebenarnya komponen-komponen
itu merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan di dalam konteks
pemakaiannya.
Dalam kenyataannya,
bahasa kita gunakan sebagai alat untuk berkomunikasi. Dengan demikian, bahasa
tidak lagi dipandang sebeagi alat komunikasi yang diperinci dalam bentuk bunyi,
frasa, ataupun kalimatnya secara terpisah-pisah. Kita memakai bahasa dalam
wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat pertama menyebabkan timbulnuya
kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga
mengacu kembali ke kalimat pertama, dan seterusnya. Rentetan kalimat yang
berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu
membentuk kesatuan yang dinamakan wacana.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
WACANA
Pengertian
wacana dapat dilihat dari berbagai segi.Dari segi sosiologi, wacana menunjuk
pada hubungan konteks sosial dalam pemakaian bahasa.Sedangkan dari segi
linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat.
Beberapa
pengertian wacana adalah sebagai berikut:
1.
Menurut
Hawthorn (1992), wacana merupakan komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai
sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas
personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
2.
Menurut
Roger Fowler (1977), wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat
dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya.
3.
Menurut
Kridalaksana (2008),
wacana dalam linguistik
berarti satuan bahasa terlengkap. Dalam hierarki gramatikal wacana merupakan
satuan gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang
utuh.
4.
Menurut
Hasan Alwi, dkk (2003: 419), wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang
menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk satu
kesatuan. Alwi juga menyatakan bahwa pembicaraan tentang wacana memerlukan
pembicaran tentang kalimat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kalimat.
Waktu
kita kedatangan tamu, salam yang disampaikan oleh tamu di depan pintu kita
jawab dengan salam pula. Pada saat seperti itu, baik tamu maupun kita sebagai
tuan rumah menyatakan pengetahuan tentang kehadiran masing-masing, seperti pada
contoh berikut.
(1)
Tamu
(T) : Assalamualaikum.
Tuan Rumah (TR) :
Waalaikumsalam.
Salam timbal
balik seperti pada contoh (1) menyatan pengetahuan Tamu ataupun Tuan Rumah
tentang kehadiran masing-masing, di samping kesediaan para pemberi salam itu
untuk secara tersirat menerima kehadiran masing-masing. Biarpun makna salam
tersebut di atas boleh dikatakan telah luruh dan menjadi ungkapan kebiasaan
untuk saling menyapa saja pada saat bertemu, dalam pergaulan ujaran itu penting
sebagai pernyataan dari kedua belah pihak tentang kesediaannya mengadakan
komunikasi. Karena kedua salam itu membentuk urutan yang koheren atau runtut,
kita dapat menyatakan bahwa contoh (1) merupakan contoh wacana yang apik,
biarpun sederhana.
Sudah tentu, contoh (1) itu mungkin
merupakan bagian atau fragmen saja dari wacana yang lebih besar. Hal itu memang
demikian apabila tuan rumah, setelah membukakan pintu bagi tamunya, kemudian
melanjutkan percakapannya dengan tamu seperti pada contoh (2) ini.
(2)
TR:
Oh, rupanya Dik Ali. Mari, masuk!
T
: Terima kasih, Bu.
Percakapan
itu diikuti oleh tindakan bersalam-salaman dan keduanya kemudian masuk ke ruang
tamu dan duduk.Kemudian percakapan itu mungkin dilanjutkan dengan percakapan
pada contoh (3) berikut.
(3)
TR:
Bagaimana keluarga di rumah?
R
: Baik-baik saja, Bu. Di sini begitu juga, bukan?
TR:
Alhamdulillah!
Contoh
lain wacana lisan yang menekankan interaksi di antara para pembicara ialah tanya
jawab antara, misalnya, pasien dan dokter, polisi dan tersangka, atau jaksa dan
terdakwa. Wacana tulisan yang bersifat interaksi, antara lain, ialah polemik,
surat-menyurat antarilmuwan, sastrawan, sahabat, dan dua kekasih.Wacana lisan
yang mementingkan “isi” dapat berupa pidato, ceramah, dakwah, kuliah, atau
deklamasi. Wacana tulisan yang bersifat transaksi ialah intruksi,
pemberitahuan, pengumuman, iklan, surat, undangan, makalah, esai, cerita
pendek, dan novel. Apapun bentuknya, wacana mengandaikan adanya penyapa dan
pesapa.Dalam wacana lisan penyapa ialah pembicara dan pesapa ialah pendengar.Dalam
wacana tulisan penyapa ialah penulis, sedangkan pesapa ialah pembicara.
(4)
A:
Bagaimana Bambang sekarang?
B: Sudah baik. Dia sudah tidak lagi
memukuli istrinya.
Pada
contoh di atas jawaban yang diberikan oleh B menyiratkan bahwa Bambang adalah
orang yang sudah menikah dan dikenal sebagai suami yang suka memukuli
istrinya.Simpulan atau implikasi seperti ini dinamakan implikatur.Perlu
dibedakan adanya dua macam implikatur, yaitu implikatur konvesional dan
implikatur percakapan.Implikatur konvesional didasarkan pada pengetahuan kita
tentang dunia, sedangkan implikatur percakapan benar-benar didasarkan pada data
kalimat dalam percakapan.
Contoh
implikatur konvesional:
Jangan pulang malam-malam, Ani.
Contoh
implikatur percakapan:
A: Perutku sudah keroncongan.
B: Kan ada warung diujung jalan ini!
B. KONTEKS WACANA
Konteks wacana
terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu,
tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana.Tiga unsur
yang terakhir, yaitu bentuk amanat, kode, dan sarana perlu mendapat penjelasan.
Bentuk amanat dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan
sebagainya. Kode ialah ragam bahasa yang dipakai, misalnya bahasa Indonesia
baku, bahasa Indonesia logat daerah,
atau bahasa daerah. Sarana ialah wahana komunikasi yang dapat berwujud
pembicaraan bersemuka atau lewat telepon, surat, dan televisi.
Sebuah ujaran
yang sama dapat mempunyai pengertian yang berlainan jika situasi dan
unsur-unsur lainnya berbeda. Perbedaan pendapat juga bias terjadi tentang orang
yang sama dalam peranannya yang berbeda-beda. Unsur antarwacana atau konteks
penting pula dalam menentukan penafsiran makna kerena dalam wacana pengertian
sebuah teks atau bagian-bagiannya sering ditentukan oleh pengertian yang
diberikan oleh teks lain. Teks di sini dapat berwujud ujaran, paragraf, ataupun
wacana, dan bahkan sebuah rambu lalu lintas. Dalam menafsirkan pengertian yang
terkandung dalam wacana, kita dapat menerapkan apa yang disebut prinsip penafsiran lokal. Prinsip ini
menyatakan bahwa pesapa tidak membentuk konteks lebih besar daripada yang
diperlukan untuk sampai pada suatu tafsiran.Begitu pula tentang waktu,
penafsiran kita juga berdasar pada prinsip penafsiran lokal ini.
Agaknya dapat
dipahami bahwa dalam menyesuaikan perilaku dengan kebiasaan dalam masyarakat,
orang memerlukan bimbingan atau pedoman. Bimbingan secara langsung bagi manusia
tiada lain adalah akalnya sendiri, dank arena itu akal bagi manusia merupakan
pembimbing yang tangguh. Jadi, manusia mempergunakan akal yang didasarkan atas
pengalamannya. Dengan kata lain, ia menerapkan prinsip analogi. Prinsip analogi merupakan dasar yang dipakai baik
oleh pembicara maupun pendengar untuk menentukan tafsiran dalam konteks. Dalam
upaya mendapatkan tempat berpijak yang sama, pengalaman-penngalaman sebelumnya
yang mirip merupakan dasar bagi kelancaran komunikasi.
C. KOHESI DAN KOHERENSI
Kohesi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi
yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam
kalimat-kalimat yang membentuk wacana.Koherensi juga merupakan hubungan
perkaitan antarproposisi, tetapi perkaitan tersebut tidak secara eksplisit atau
nyata dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya.Dengan perbedaan
antara kohesi dan koherensi seperti dinyatakan di atas, dapat disimpulkan bahwa
ada wacana yang sekaligus kohesif dan koheren, da nada pula wacana yang koheren
tetapi tidak kohesif. Dengan kata lain, suatu wacana tidak mungkin kohesif
tanpa menjadi koheren. Untaian kalimat yang kohesif tetapi tidak koheren tidak
membentuk suatu wacana.
Kohesi dapat pula dilihat berdasarkan hubungan
unsur-unsur kalimat.Unsur-unsur kalimat itu dihubungakan melalui penggunaan
sebuah konjungtor. Berdasarkan konjungtor yang digunakan, kohesi mengungkapkan:
a.
Pertentangan yang dinyatakan dengan konjungtor tetapi atau namun,
b.
Pengutamaan yang dinyatakan dengan konjungtor malahan atau bahkan,
c.
Perkecualian yang dinyatakan dengan konjungtor kecuali,
d.
Konsesi yang dinyatakan dengan konjungtor walaupun atau meskipun; atau
e.
Tujuan yang dinyatakan dengan konjungtor agar atau supaya.
Kohesi
dapat pula ditandai oleh pengulangan kata atau frasa, baik secara utuh maupun
secara sebagian. Kohesi sering pula diciptakan dengan memakai kata yang
maknanya sama sekali berbeda dengan makna kata yang diacunya. Akan tetapi, yang
penting dalam hal ini ialah bahwa kata yang digantikan dan kata pengganti
menunjuk ke referen yang sama. Dengan kata lain, kedua kata itu mempunyai
koreferensi.
Kohesi dalam wacana tidak hanya ditentukan
oleh adanya koreferensi, tetapi juga oleh adanya hubungan leksikal.Hubungan
antara kata mebel dan kursi, misalnya, hubungan hiponimi. Kuri (meja, lemari,
dan beberapa yang lain) merupakan hiponim, yakni kata yang maknanya ‘dipayungi
oleh’, kata mebel. Hubungan ini boleh dikatakan merupakan hubungan antara kata
spesifik dan kata umum.Kursi, sebagai kata spesifik, merupakan “bagian” dari
mebel. Karena kata umum selalu mencakup kata spesifik, sedangkan kata spesifik
tidak pernah mencakup kata umum, maka pembolak-balikan kedua hal itu akan
menimbulkan keanehan. Selain hubungan hiponomi, hubungan bagian-keseluruhan
dipakai pula untuk menunjukkan kohesi dan koherensi sekaligus.Hubungan
keseluruhan-bagian dapat dibagi menjadi dua macam, hubungan yang bagiannya (a)
bersifat wajib dan (b) bersifat manasuka.
D. TOPIK, TEMA, DAN JUDUL
Wacana
yang baik mempunya topik, yakni proposisi yang berwujud frasa atau kaliamt yang
menjadi inti pembicaraan atau pembahasan. Dalam percakapan, para pembicara
dapat berbicara tentang sebuah topik, masing-masing berbicara tentang topiknya
sendiri, atau mereka sama-sama berbicara tentang topik yang sama. Dengan kata
lain, para pembicara berbagi topik karena mereka berbicara tentang wacana yang
bertopik tunggal. Berbeda dengan topik, tema lebih luas lingkupnya dan biasanya
lebih abstrak.Setiap topic dapat dijabarkan lagi menjadi berbagai judul yang
sifatnya lebih sempit dan menjurus.Meskipun tema, topik, dan judul dapat
dibeda-bedakan, ada kalanya ketiga pengertian itu bertumpang-tindih.
E. REFERENSI DAN IFERENSI KEWACANAAN
Dalam wacana lisan atau tulisan terdapat
berbagai unsur seperti pelaku perbuatan, penderita, perbuatan, pelengkap
perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dan tempat perbuatan.Unsur itu
acapkali harus diulang-ulang untuk mengacu kembali atau untuk memperjelas
makna.Oleh karena itu, pemilihan kata serta penempatannya harus jelas sehingga
wacana tadi tidak hanya kohesif, tetapi juga koheren. Dengan kata lain,
referensinya atau pengacuannya harus jelas.
Berbeda dengan pengacuan, inferensi adalah
proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna
yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara
atau penulis.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
a.
Pengertian
wacana dapat dilihat dari berbagai segi. Dari segi sosiologi, wacana menunjuk
pada hubungan konteks sosial dalam pemakaian bahasa. Sedangkan dari segi
linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat.
Beberapa
pengertian wacana adalah sebagai berikut:
1.
Menurut
Hawthorn (1992), wacana merupakan komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai
sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas
personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
2.
Menurut
Roger Fowler (1977), wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat
dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya.
3.
Menurut
Kridalaksana (2008),
wacana dalam linguistik
berarti satuan bahasa terlengkap. Dalam hierarki gramatikal wacana merupakan
satuan gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang
utuh.
4.
Menurut
Hasan Alwi, dkk (2003: 419), wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang
menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk satu
kesatuan.
b.
Konteks
wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar,
waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana.
c.
Ada
dua macam implikatur, yaitu implikatur konvesional dan implikatur percakapan.
Implikatur konvesional didasarkan pada pengetahuan kita tentang dunia,
sedangkan implikatur percakapan benar-benar didasarkan pada data kalimat dalam
percakapan.
d.
Kohesi
merupakan hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara eksplisit
oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk
wacana. Koherensi juga merupakan hubungan perkaitan antarproposisi, tetapi
perkaitan tersebut tidak secara eksplisit atau nyata dapat dilihat pada
kalimat-kalimat yang mengungkapkannya.
e. Berdasarkan konjungtor yang digunakan,
kohesi mengungkapkan:
1.
Pertentangan yang dinyatakan dengan konjungtor tetapi atau namun,
2.
Pengutamaan yang dinyatakan dengan konjungtor malahan atau bahkan,
3.
Perkecualian yang dinyatakan dengan konjungtor kecuali,
4.
Konsesi yang dinyatakan dengan konjungtor walaupun atau meskipun; atau
5.
Tujuan yang dinyatakan dengan konjungtor agar atau supaya.
f. Wacana yang baik mempunya topik, yakni
proposisi yang berwujud frasa atau kaliamt yang menjadi inti pembicaraan atau
pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk.
2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi
ke-enam). Jakarta: Balai Pustaka
http://beningembun-apriliasya.blogspot.com/2010/10/pengertian-wacana-dan-macam-macamnya.html (diakses 27 Desember 2012)
Kridalaksana, Harimurti.
2008. Kamus Linguistik (edisi ke-Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.