BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata Islam
dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah
diri kepada Tuhan, dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik
di dunia maupun di akhirat. Hal demikian dilakukan atas kesadaran
dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai
panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan sudah
menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan. (Abudin Nata, 2012: 63). Kemudian,
apa pengertian Islam secara istilah? Definisi yang sering dipakai adalah
aturan-aturan Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disebarluaskan kepada seluruh umat manusia agar mereka selamat di dunia dan di akhirat.
Definisi ini secara teknis benar juga, tetapi
sebenarnya ada definisi yang lebih tepat yaitu, Islam
adalah aturan-aturan Allah yang diturunkan kepada para utusan-Nya sejak Nabi
Adam hingga Nabi Muhammad di mana aturan
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad merupakan penyempurna bagi aturan-aturan sebelumnya
untuk disebarluaskan kepada seluruh umat manusia agar mereka selamat dunia
akhirat. Sedangkan
manusia adalah
gabungan antar unsur material (basyar) dan unsur ruhani.
Islam
adalah Agama yang hadir di muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran
tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Tidak bisa
dipungkiri, nilai-nilai humanisme universal memang menjadi pesan umum dari
seluruh agama di dunia. Hanya saja, dalam Islam, kita dapat menemukan contoh
praktisnya dalam kehidupan Rasulullah di seluruh dimensi kehidupan, dari
tingkat individu hingga level negara.
Di dalam Islam kita bisa menemukan
banyak aspek dalam Islam yang begitu kental dengan nilai-nilai kemanusiaan atau
humanisme. Keesaan Tuhan dan kemanusiaan merupakan dua hal yang tak bisa
dipisahkan. Kemanusiaan dalam Islam jauh sangat berakar dalam tradisi Islam
seperti tercermin dalam fikih, tasawuf, dan akhlak. Perintah Allah agar manusia
menghargai kemanusiaannya sangat terlihat dari perilaku Rasulullah SAW dalam
keseharian beliau. Kita juga perlu menilik kembali tugas kita sebagai hamba
Allah yang di percayakan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini, dengan cara
berusaha mencontoh semua perilaku Rasulullah SAW serta memahami dengan sebenar-benarnya kedudukan kita
serta makhluk Allah yang lain di bumi ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan Manusia dan Makhluk Allah
Jalaluddin Rakhmat (lihat Budhy
Munawar-Rachman ( ed.), 1994:75-78) menulis sebuah artikel dengan judul
“Konsep-konsep Antropologis”. Dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat tiga istilah kunci
yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu: basyar, insan, dan
al-nas.
Basyar yang dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 27 kali, memberikan referensi pada manusia
sebagai makhluk biologis. Sebagai makhluk biologis dapat dilihat dari perkataan
Maryam kapada Allah: “Tuhanku, bagaimana
mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar”
(QS.Ali-Imran:47). Nabi Muhammad disuruh
Allah menegaskan bahwa secara biologis , ia seperti manusia lain. Allah
berfirman : “Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar)
seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang satu.” (QS.Al-Kahfi:110).
Adapun kata insan, yang dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali, dapat dikelompokkan ke dalam
tiga kategori: pertama, insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai khalifah
atau pemikul amanah; kedua, insan dihubungkan dengan
predisposisi negatif
manusia; dan ketiga, insan dihubungkan degan proses
penciptaan manusia. Semua konteks insan menunjukkan adanya sifat-sifat psikologis manusia atau
spiritual.
Pada
kategori pertama, manusia digambarkan sebagai wujud makhluk istimewa yang
berbeda dengan hewan. Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa insan
adalah makhluk yang diberi ilmu, makhluk yang diberi kemampuan untuk
mengembangkan ilmu dan daya nalarnya dengan nazhar
(merenungkan, memikirkan, menganalisis, dan mengamati perbuatannya).
Selanjutnya,
manusia dikatakan sebagai makhluk yang memikul amanah (QS.Al-Ahzab:72). Karena
manusia adalah makhluk yang menanggung amanah, maka insan dalam Al-Qur’an
dihubunngkan dengan konsep tanggung jawab. Ia (insan) diharuskan berbuat baik,
amalnya dicatat dengan cermat untuk diberi balasan sesuai dengan kerjanya. Oleh
karena itu, insanlah yang dimusuhi setan.
Dalam
menyembah Allah, insan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Apabla ditimpa
musibah, insan cenderung menyembah Allah dengan ikhlas, sedangkan apabila
mendapat keberuntungan, insan cenderung sombong, takabur, dan bahkan musyrik
(QS.Yunus:12).
Dalam
kategori yang kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif. Menurut
Al-Qur’an, manusia cenderung zalim dan kafir, tergesa-gesa, bakhil, bodoh,
banyak membantah dan mendebat, gelisah dan enggan membantu, ditakdirkan untuk
bersusah payah dan menderita, tidak berterima kasih, berbuat dosa, dan
meragukan hari kiamat.
Kategori
yang ketiga adalah insan dihubungkan dengan proses penciptaannya. Sebagai
insan, manusia diciptakan dari tanah liat, saripati tanah, dan tanah. Demikian
juga basyar berasal dari tanah liat, tanah, dan air. Jalaluddin Rakhmat
berkesimpulan bahwa proses penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis
karakteristik basyari dan karakteristik insani. Yang pertama, unsur material,
dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur basyari, yang kedua unsur
insani. Keduanya harus tergabung dalam keseimbangan, tidak boleh mengurangi hak
yang satu atau melebihkan hak yang lainnya.
Sedangkan konsep
kunci yang ketiga adalah
al-nas yang mengacu pada manusia
sebagai makhluk sosial. Ia disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali. Sebagai
makhluk sosial, al-nas dapat dilihat dalam beberapa segi. Pertama, banyak ayat
menunjukkan kelompok sosial dengan karakteristiknya. Kedua, sebagian besar
manusia mempunyai kualitas rendah, baik dari segi ilmu maupun iman. Ketiga,
Al-Qur’an menegaskan bahwa petunjuk Al-Qur’an bukan hanya dimaksudkan kepada
manusia secara perorangan, tatapi juga menusia secara sosial.
Adapun dua komponen yang membedakan
hakikat manusia dengan hewan, yaitu potensi untuk mengembangkan iman dan ilmu. Iman dan
ilmu adalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Singkatnya kedudukan manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial;
makhluk biologis dan makhluk psikologis. Manusia adalah gabungan antara
unsur material (basyari) dan unsur ruhani. Dari segi hubungannya dengan Tuhan,
kedudukan manusia adalah sebagai hamba Allah (makhluq); dan kedudukan manusia
dalam konteks makhluk Tuhan adalah makhluk yang terbaik. (Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2011: 205-209).
Makhluk adalah ciptaan Allah SWT
yang juga mempunyai kedudukan. Arti hidup
dalam Islam
dapat diambil dari kata hayat yang berasal dari kata hidayah yang berarti
hidup. Hidup sebagai mahluk Allah pada dasarnya
bermula dari firman Allah:
Artinya: Dan apakah orang-orang yang kafir
tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu
yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS.Al-Anbiyaa:30).
Dalam surat Adz-Dzariyat
ayat 56 Allah
berfirman tentang hakikat makhluk hidup.
Artinya: Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS.Adz-Dzaariyat:56).
Surat
Adz-dzariyat
ayat 56 mengandung makna bahwa semua makhluk Allah, termasuk jin dan manusia
diciptakan oleh Allah SWT agar mereka mau mengabdikan diri, taat, tunduk, serta
menyembah hanya kepada Allah SWT.
Jin
dan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT juga makhluk-makhluk
hidup yang lain mempunyai
tugas pokok di muka bumi, yaitu untuk mengabdi kepada Allah SWT. Pengabdian
yang dikehendaki oleh Allah SWT adalah
bertauhid kepada-Nya, yakni bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Semua
makhluk hidup wajib mengesakan Allah dalam segala situasi dan kondisi, baik
dalam keadaan suka maupun duka. Taat kepada Allah dibuktikan dengan menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
B.
Tugas Manusia
Dengan mengacu kepada Al-Qur’an, tugas manusia adalah
beribadah kepada Tuhan dalam artian umum, bukan hanya ibadah dalam artian
khusus atau mahdlah. Adapun tugas
ibadah dalam pengertian khusus adalah menyembah Allah dengan cara-cara yang
secara teknis telah diatur dalam sunnah. Sedangkan yang dimaksud tugas ibadah
dalam pengertian umum adalah adanya keyakinan bahwa seluruh perbuatan kita yang
bersifat horizontal semata-mata diperuntukkan bagi Allah. (Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2011: 210).
Manusia diciptakan oleh Allah SWT agar
menyembah kepada-Nya. Kata menyembah sebagai terjemahan dari lafal ‘abida-ya’budu-‘ibadatun.
Beribadah berarti menyadari dan mengaku bahwa manusia merupakan hamba Allah
yang harus tunduk mengikuti kehendaknya, secara sukarela dan tanpa paksaan. Ibadah terbagi ke dalam dua macam, yaitu:
1.
Ibadah muhdah (murni),
yaitu ibadah yang telah ditentukan waktunya, tata caranya, dan syarat-syarat pelaksanaannya
oleh nas, baik Al-Qur’an maupun hadits yang tidak boleh diubah, ditambah atau dikurangi.
Misalnya shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
2.
Ibadah ‘ammah (umum),
yaitu pengabdian yang dilakukan oleh manusia yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas dan kegiatan hidup
yang dilaksanakan dalam konteks mencari keridhaan Allah SWT
Jadi, setiap insan tujuan hidupnya adalah
untuk mencari keridhaan Allah SWT, karena jiwa yang memperoleh keridhaan Allah
adalah jiwa yang berbahagia, mendapat ketenangan, terjauhkan dari kegelisahan
dan kesengsaraan batin. Sedangkan di akhirat kelak, kita akan memperoleh imbalan surga dan dimasukkan dalam
kelompok hamba-hamba Allah SWT yang istimewa. Sebagaimana firman Allah SWT yang
artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhainya. Maka masuklah dalam jamaah hamba-hambaku. Dan masuklah
ke dalam surgaku.” (QS.Al-Fajr: 27-30)
Selama hidup di dunia manusia wajib beribadah,
menghambakan diri kepada Allah. Seluruh aktivitas hidupnya harus diarahkan
untuk beribadah kepadanya. Islam telah memberi petunjuk kepada manusia tentang
tata cara beribadah kepada Allah. Apa-apa yang dilakukan manusia sejak bangun
tidur sampai akan tidur harus disesuaikan dengan ajaran Islam.
Jin dan manusia sebagai makhluk ciptaan
Allah SWT mempunyai tugas pokok di muka bumi, yaitu untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Pengabdian yang dikehendaki oleh Allah SWT adalah bertauhid kepada-Nya, yakni bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Jin
dan manusia wajib mengesakan Allah dalam segala situasi dan kondisi, baik dalam
keadaan suka maupun duka.
Petunjuk Allah hanya akan diberikan kepada
manusia yang taat dan patuh kepada Allah dan rasulnya, serta berjihad
dijalannya. Taat kepada Allah dibuktikan dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. Taat kepada rasul
berarti bersedia menjalankan sunah-sunahnya. Kesiapan itu lalu ditambah dengan
keseriusan berjihad, berjuang di jalan Allah dengan mengorbankan harta, tenaga,
waktu, bahkan jiwa. (Atang Abdurrahman Hakim dan Jaih Mubarok, 1999:
96 )
C. Tugas
Manusia sebagai Khalifatullah
Fungsi dan kedudukan manusia di
dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan penciptaan manusia di
atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia
ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi,
manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh
Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk
mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.
Khalifah adalah
seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah
ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki
tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah
selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.
Jika kita menyadari diri kita
sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas
dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan
lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok
sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan
keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah,
maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga
tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama
dia menjabat.
Jabatan manusia sebagai khalifah
adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh
atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan
amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai khalifatullah,
manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua makhluknya.
Manusia mulai melakukan penyimpangan
dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia akil baligh hingga
akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah,
maka tidak akan ada manusia yang melakukan penyimpangan.
Makna sederhana dari khalifatullah
adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini
harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah. (http://www.google.com/aclk?sa=L&ai
Diakses 13 November 2013).
Ketika manusia memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka
bumi, ada dua peranan penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai
hari kiamat. Pertama, memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara
bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).
1. Memakmurkan Bumi
Manusia
mempunyai kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia harus
mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka
sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata,
dengan tetap menjaga kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi selanjutnya
dapat melanjutkan eksplorasi itu.
2. Memelihara Bumi
Melihara
bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak manusianya
sebagai SDM (sumber daya manusia). Memelihara dari kebiasaan jahiliyah, yaitu
merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena sumber daya
manusia yang rusak akan sangat berpotensial
merusak alam. Oleh karena itu, hal semacam itu perlu dihindari.
Allah
menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia. Oleh karena itu, penciptaan
manusia mempunyai tujuan yang jelas, yakni dijadikan sebagai khalifah atau
penguasa (pengatur) bumi. Maksudnya, manusia diciptakan oleh Allah agar
memakmurkan kehidupan di bumi sesuai dengan petunjuk-Nya. Petunjuk yang dimaksud adalah agama (Islam).
Sebagai
seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan menjalankan fungsi
sebagai khalifah di muka bumi dengan tidak melakukan
pengrusakan terhadap alam yang diciptakan oleh Allah SWT karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Seperti
firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 77:
Artinya: “dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS.Al-Qashash: 7).
Dan dalam surat Al-Baqarah ayat 30 Allah berfirman:
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui." (QS.Al-Baqarah: 30).
Maksud ayat
ini mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berfirman kepada sekalian malaikat
memberitahukan bahwa, Dia akan menjadikan khalifah di muka bumi ini. Malaikat
bertanya mengapa tuhan menjadikan di bumi ini orang-orang yang akan membuat
kebinasaan dan menumpahkan darah atau berbunuh-bunuhan didalamnya, sedang kami
(kata mereka), cukup sedia mengucap tasbih dan taqdis. Tetapi Allah menjawab; Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Abuddin
Nata, 2011: 104).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Di dalam Al-Qur’an terdapat tiga istilah kunci
yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu: basyar, insan, dan
al-nas. Adapun dua komponen yang membedakan
hakikat manusia dengan hewan, yaitu potensi untuk mengembangkan iman dan ilmu. Iman dan
ilmu adalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Singkatnya kedudukan manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial;
makhluk biologis dan makhluk psikologis. Manusia adalah gabungan antara
unsur material (basyari) dan unsur ruhani. Dari segi hubungannya dengan Tuhan,
kedudukan manusia adalah sebagai hamba Allah (makhluq); dan kedudukan manusia
dalam konteks makhluk Tuhan adalah makhluk yang terbaik.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT agar menyembah kepada-Nya. Kata menyembah
sebagai terjemahan dari lafal ‘abida-ya’budu-‘ibadatun. Beribadah
berarti menyadari dan mengaku bahwa manusia merupakan hamba Allah yang harus
tunduk mengikuti kehendaknya, secara sukarela dan tanpa paksaan.
Manusia di
atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam
rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai
kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.
Khalifah adalah
seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah
ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki
tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah
selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.
Sebagai
khalifah di muka bumi ini manusia wajib menjalankan tugasnya. Tugas manusia
sebagai khalaifah adalah memakmurkan bumi serta memelihara bumi dari segala
bentuk perusakan-perusakan yang terjadi.
Saran
Semoga
makalah ini dapat berguna bagi kita semua, mohon maaf apabila ada kesalahan,
karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Atang Hakim
dan Jaih Mubarok.. Wawasan Islam. (Jakarta: Rineka Cipta, 1999).
Abdurrahman, Atang Hakim
dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam.
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), cet. 13.
Nata,
Abudin.
Metodologi Studi Islam. (Jakarta:
Raja Grafindo
Persada, 2011).
Nata,
Abudin. Metodologi Studi Islam.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), cet. XIX.
eh... dapat blog lia...heheheheeheh ;)
BalasHapustahniah.. bagus sekali, mohon share ye
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusterbaik memank
BalasHapusMbak punya referensi buku soalnya saya cari buku referensinya tidak ada tolong dikirim fotonya
BalasHapus