Senin, 18 November 2013

Teori Belajar Behavioristik, Kognitif, dan Humanistik



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Belajar bukan hanya menghafal dan bukan pula mengingat, tetapi belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri siswa. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk, seperti perubahan pengetahuanya, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapanya, kemampuannya, daya reaksinya dan daya penerimaanya. Jadi belajar adalah suatu proses yang aktif, proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada pada siswa. Belajar merupakan suatu proses yang diarahkan pada suatu tujuan, proses berbuat melalui situasi yang ada pada siswa.[1] Oleh karena itu, dalam suatu pembelajaran juga perlu didukung oleh adanya suatu teori belajar.
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.[2]
Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka bersamaan dengan itu bermunculan pula berbagai teori tentang belajar. Di dalam masa perkembangan psikologi pendidikan ini muncullah secara beruntun beberapa aliran pasikologi pendidikan, masing-masing yaitu:
-          Psikologi behavioristik;
-          Psikologi kognitif; dan
-          Psikologi humanistik.
Ketiga aliran psikologi pendidikan di atas tumbuh dan berkembang secara beruntun, dari periode ke periode berikutnya. Dalam setiap periode perkembangan aliran psikologi tersebut bermunculan teori-teori tentang belajar, yaitu:
-          Teori belajar behavioristik.
-          Teori belajar kognitif.
-          Teori belajar humanistik.[3]
Oleh sebab itu, kami akan membahas lebih lanjut tentang teori-teori belajar yang telah tersebut di atas pada pembahasan makalah ini.

B.     Perumusan Masalah
1.      Apakah itu teori belajar behavioristik?
2.      Apakah itu teori belajar kognitif?
3.      Apakah itu teori belajar humanistik?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa itu teori belajar behavioristik.
2.      Untuk mengetahui apa itu teori belajar kognitif.
3.      Untuk mengetahui apa itu teori belajar humanistik.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Teori Belajar Psikologi Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.[4] Teori behavioristik menjadi dominan mewarnai pemikiran selama tahun 1950-an. Berdasarkan hasil karya para ahli dan pemikir seperti John B. Watson, Ivan Pavlov, dan B.F. Skinner. Para psikolog behavioristik juga sering disebut “contemporary behaviorists” atau juga disebut “S-R psychologists”. Teori behavioristik berpendapat bahwa semua perilaku dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan, bukan oleh kekuatan internal. Behavioristik berfokus pada perilaku yang dapat diamati.[5]
Guru-guru yang menganut pandangan ini berpendapat, bahwa tingkah laku murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku merupakan hasil belajar.[6]
Terdapat tiga macam teori behavioristik, yakni: connectionism (koneksionisme), classical conditioning (pembiasaan klasik), dan operant conditioning (pembiasaan perilaku respons).[7]
1.      Koneksionisme
Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an yang menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Berdasarkan eksperimennya, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, koneksionisme juga disebut “S-R Nond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Di samping itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial and Error Leraning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan.
Dari penelitiannya itu, Thorndike menemukan hukum-hukum sebagai berikut:
(1)   Law of effect yaitu jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dengan respons akan semakin  kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (menggangu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut.
(2)   Law of readiness (hukum kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conductions unit (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jelas, hukum ini semata-mata bersifat spekulatif yang menurut Reber (1988), hanya bersifat historis.
(3)   Law of exercise (hukum pelatihan) ialah generalisasi in law of use and law of disuse. Menurut Hilgard & Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunkan maka perilaku tersebut akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of disuse).[8]

2.      Pembiasaan Klasik
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflek tersebut (Terrace, 1973).
Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan Unconditioned-response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons  yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Berdasarkan eksperimen Pavlov menyimpulakan bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.[9]

3.      Pembiasaan Perilaku Respons
Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini diciptakan oleh Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904). Tema pokok yang mempengaruhi karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno, 1987).
Operant” adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Rober, 1988). Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforce. Reinforce sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kamungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu.
Dalam eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner box”. Eksperimen yang dilakukan Skinner mirip sekali dengan trial and error learning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal ini, fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/kepuasan, sedangkan menurut Skinner fenomena tersebut melibatkan reinforcement/penguatan.
Selanjutnya, proses belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk kepada dua hukum operant yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinction. Menutut law of operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku  tersebut akan menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987). Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan hukum-hukum yang melekat dalam proses belajar menurut teori pembiasaan yang klasik.[10]
Dalam pengajaran, operants conditioning menjamin respon-respon terhadap stimulus. Apabila murid tidak menunjukkan reaksi-reaksi terhadap stimulus, guru tak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya ke arah tujuan behavior. Guru berperan penting di dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar ke arah tercapainya tujuan yang telah dirumuskan.[11]
Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner, dan Pavlov di atas, jika renungkan dan bandingkan dengan teori dan juga riset psikologi kognitif, mengandung banyak kelemahan, diantaranya:
a.       Proses itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya;
b.      Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenannya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati;
c.       Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dengan hewan.[12]

B.     Teori Belajar Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif adalah cabang psikologi yang mempelajari proses mental termasuk bagaimana orang berfikir, merasakan, mengingat, dan belajar. Bidang psikologi kognitif sangat luas, tetapi umumnya dimulai dengan melihat bagaimana masukan sensori berubah menjadi keyakinan dan tindakan melalui proses kognisi.
Istilah psikologi kognitif diciptakan  oleh Ulric Neisser tahun 1967 dalam sebuah bukunya yang berjudul Cognitive Psychology. Psikologi kognitif mengakui otak menjalankan fungsi utama, yaitu berpikir. Otak adalah sistem fisik murni yang bekerja (meskipun kompleks) dalam batas-batas hukum alam dan kekuatan sebab dan akibat. Pandangan ini disebut fungsionalisme kausal atau fungsionalisme.[13]
1.      Teori Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:

a.       Tahap Sensori Motor (dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.

b.      Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.

c.       Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan.

d.      Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak, yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.[14]
2.      Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya
Bruner menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive, iconic dan simbolic. Pembelajaran enaktif mengandung sebuah kesamaan dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget.
Pengetahuan enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek, melakukan pengetahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali (‘melakukan’ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran.
Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini, anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka. Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata.
Pembelajaran simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang satu ini serupa dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam teori Piaget.
Jika dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discoveri learningnya Bruner dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Belajar merupakan kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity (keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
2.      Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur yang ada. Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan pengenalan.
3.      Kualitas belajar penemuan diwarnai modus imperatif kesiapan dan kemampuan secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
4.      Penerapan belajar penemuan hanya merupakan garis besar tujuan instruksional sebagai arah informatif.
5.      Kreatifitas metaforik dan creative conditioning yang bebas dan bertanggung jawab memungkinkan kemajuan.
3.      Teori Belajar Bermakna Ausubel
Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna. Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada.
Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya.
Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan :
a.       Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan     tingkat    perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
b.      Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan   penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.
Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi.
Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik.[15]
4.      Teori Belajar “Cognitive-Field” dari Lewin
Tokoh dari teori kognitif adalah Kurt Lewin (1892-1947). Mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencankup perwujudan lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang – orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia miliki.
Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward.[16]



C.    Teori Belajar Humanistik
Aliran psikologi humanistik sangat terkenal dengan konsepsi bahwa esensinya manusia itu baik menjadi dasar keyakinan dan mengajari sisi kemanusiaan. Psikologi humanistik utamanya didasari atas atau merupakan realisasi dari psikologi eksistensial dan pemahaman akan keberadaan dan tanggung jawab sosial seseorang. Dua psikolog yang ternama, Carl Rogers dan Abraham Maslow, memulai gerakan psikologi humanistik perspektif baru mengenai pemahaman kepribadian seseorang dan meningkatkan kepuasan hidup mereka secara keseluruhan.
Psikologi humanistik adalah perspektif psikologis yang menekankan studi tentang seseorang secara utuh. Psikolog humanistik melihat perilaku manusia tidak hanya melalui penglihatan pengamat, malainkan juga melalui pengamatan atas perilaku individu mengintegral dengan perasaan batin dan citra dirinya.
Studi psikologi humanistik melihat manusia, pemahaman, dan pengalaman dalam diri manusia, termasuk dalam kerangka belajar dan belajar. Mereka menekankan karakteristik yang dimiliki oleh makluk manusia seutuhnya seperti cinta, kesedihan, peduli, dan harga diri. Psikolog humanistik mempelajari bagaimana orang-orang dipengaruhi oleh persepsi dan makna yang melekat pada pengalaman pribadi mereka. Aliran ini menekankan pada pilihan kesadaran, respon terhadap kebutuhan internal, dan keadaan saat ini yang menjadi sangat penting dalam membentuk perilaku manusia.
Pendekatan pengajaran humanistik didasarkan pada premis bahwa siswa telah memiliki kebutuhan untuk menjadi orang dewasa yang mampu mengaktualisasi diri, sebuah istilah yang digunakan oleh Maslow (1954). Aktualisasi diri orang dewasa yang mandiri, percaya diri, realistis tentang tujuan dirinya, dan fleksibel. Mereka mampu menerima dirinya sendiri, perasaan mereka, dan lain-lain di sekitarnya. Untuk menjadi dewasa dengan aktualisasi dirinya, siswa perlu ruang kelas yang bebas yang memungkinkan mereka menjadi kreatif.
Tujuan dasar pendidikan humanistik adalah mendorong siswa menjadi mandiri  dan independen, mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka, menjadi kreatif dan tertarik dengan seni, dan menjadi ingin tahu tentang dunia di sekitar mereka. Sejalan dengan itu, prinsip-prinsip pendidikan humanistik disajikan sebagai berikut.
a.       Siswa harus dapat memilih apa yang mereka ingin pelajari. Guru humanistik percaya bahwa siswa akan termotivasi untuk mengkaji materi bahan ajar jika terkait dengan kebutuhan dan keinginannya.
b.      Tujuan pendidikan harus mendorong keinginan siswa untuk belajar dan mengajar mereka tentang cara belajar. Siswa harus memotivasi dan merangsang diri pribadi untuk belajar sendiri.
c.       Pendidik humanistik percaya bahwa nilai tidak relavan dan hanya evaluasi diri (selfevaluation) yang bermakna. Pemeringkatan mendorong siswa belajar untuk mencapai tingkat tertentu, bukan untuk kepuasan pribadi. Selain itu, pendidik humanistik menentang tes objektif, karena mereka menguji kemampuan siswa untuk menghafal dan tidak memberikan umpan balik pendidikan yang cukup kepada guru dan siswa.
d.      Pendidik humanistik percaya bahwa, baik perasaan maupun pengetahuan, sangat penting dalam proses belajar dan tidak memisahkan domain kognitif dan afektif.
e.       Pendidik humanistik menekankan perlunya siswa terhindar dari tekanan lingkunngan, sehingga mereka akan merasa aman untuk belajar. Setelah siswa merasa aman, belajar mereka menjadi lebih mudah dan lebih bermakna.[17]




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.
Pembahasan tentang teori belajar yang telah dipaparkan di atas, memberikan pandangan untuk dapat memberikan kesimpulan tentang poin – poin yang telah dibahas antara lain: belajar sebagai kegiatan siswa jika dipandang dari teori-teori tersebut adalah perubahan tingkah laku (behavioristik), untuk mempelajari proses mental, bagaimana cara berfikir, mengingat, merasakan dan belajar (kognitif), dan studi tentang melihat manusia secara utuh, tidak hanya melalui penglihatan pengamat tetapi juga pengamatan atas perilaku individu, mengintegralkan dengan perasaan batin dan citra rasa (humanistik).
            Dari ketiga teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran perlu diterapkannya beberapa teori agar dengan pembelajaran tersebut dapat tercapainya proses belajar yang diharapkan. Dari ketiga teori tersebut jika digabungkan maka sesuai dengan apa yang sampaikan oleh UNISCO bahwa untuk meningkatkan atau memajukan manusia harus dengan sistem pendidikan yang mengacu pada, belajar bekerja (learning to do), belajar mengetahui (learning to know), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar hidup bersama (learning to live together).

Saran
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Mohon maaf atas segala kesalahan. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan.



Daftar Pustaka

Dalyono. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Danim, Sudarwan dan Khairl. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Muhibbinsyah. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.


[1] http://mihwanuddin.wordpress.com/2011/09/19/toeri-belajar-humanistik-pengertian-teori-belajar-humanistik-tokoh-teori-belajar-humanistik-prinsip-dalam-teori-belajar-humanistik-aplikasi-teori-belajar-humanistik-implikasi-teori-belajar-humani/
[2] Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 102.
[3] Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 29.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
[5] Sudarwan Danim dan Khairil, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 37.
[6] Ibid., hlm. 30.
[7] Ibid., hlm. 103.
[8] Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan…, hlm. 103-104.
[9] Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan…, hlm. 104-106.
[10] Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan…, hlm. 106-107.
[11] Dalyono, Psikologi Pendidikan…, hlm. 33.
[12] Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan…, hlm. 108.
[13] Ibid, hlm. 38-39.
[14] http://magister-pendidikan.blogspot.com/p/teori-kognitif.html
[15] http://ariefian84.wordpress.com/2010/06/08/teori-kognitif/
[16] Dalyono, Psikologi Pendidikan…, hal. 36-37.
[17] Sudarwan Danim dan Khairil, Psikologi…, hal. 23-27.

11 komentar: