BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar bukan
hanya menghafal dan bukan pula mengingat, tetapi belajar adalah suatu proses
yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri siswa. Perubahan sebagai hasil
proses belajar dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk, seperti perubahan
pengetahuanya, sikap dan tingkah laku,
keterampilan, kecakapanya, kemampuannya,
daya reaksinya dan daya penerimaanya. Jadi belajar adalah
suatu proses yang aktif, proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada pada
siswa. Belajar merupakan suatu proses yang diarahkan pada suatu tujuan, proses
berbuat melalui situasi yang ada pada siswa.[1] Oleh karena itu, dalam
suatu pembelajaran juga perlu didukung oleh adanya suatu teori belajar.
Secara pragmatis, teori
belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling
berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumlah fakta dan penemuan yang
berkaitan dengan peristiwa belajar.[2]
Dengan berkembangnya psikologi
dalam pendidikan, maka bersamaan dengan itu bermunculan pula berbagai teori
tentang belajar. Di dalam masa perkembangan psikologi pendidikan ini muncullah
secara beruntun beberapa aliran pasikologi pendidikan, masing-masing yaitu:
-
Psikologi behavioristik;
-
Psikologi kognitif; dan
-
Psikologi humanistik.
Ketiga aliran psikologi
pendidikan di atas tumbuh dan berkembang secara beruntun, dari periode ke
periode berikutnya. Dalam setiap periode perkembangan aliran psikologi tersebut
bermunculan teori-teori tentang belajar, yaitu:
-
Teori belajar behavioristik.
-
Teori belajar kognitif.
-
Teori belajar humanistik.[3]
Oleh sebab itu, kami akan
membahas lebih lanjut tentang teori-teori belajar yang telah tersebut di atas
pada pembahasan makalah ini.
B. Perumusan Masalah
1.
Apakah itu teori belajar
behavioristik?
2.
Apakah itu teori belajar kognitif?
3.
Apakah itu teori belajar humanistik?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa itu teori
belajar behavioristik.
2.
Untuk mengetahui apa itu teori
belajar kognitif.
3.
Untuk mengetahui apa itu teori
belajar humanistik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Belajar Psikologi Behavioristik
Teori belajar
behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan
oleh Gage
dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.[4]
Teori behavioristik menjadi dominan mewarnai pemikiran selama tahun 1950-an. Berdasarkan hasil karya
para ahli dan pemikir seperti John B. Watson, Ivan Pavlov, dan B.F. Skinner.
Para psikolog behavioristik juga sering disebut “contemporary behaviorists”
atau juga disebut “S-R psychologists”. Teori behavioristik berpendapat bahwa
semua perilaku dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan, bukan oleh
kekuatan internal. Behavioristik berfokus pada perilaku yang dapat diamati.[5]
Guru-guru
yang menganut pandangan ini berpendapat, bahwa tingkah laku murid-murid
merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa
sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku merupakan hasil belajar.[6]
Terdapat
tiga macam teori behavioristik, yakni: connectionism (koneksionisme), classical
conditioning (pembiasaan klasik), dan operant conditioning (pembiasaan perilaku
respons).[7]
1. Koneksionisme
Teori
koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh
Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada
tahun 1890-an yang menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui
fenomena belajar. Berdasarkan eksperimennya, Thorndike menyimpulkan bahwa
belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya,
koneksionisme juga disebut “S-R Nond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”.
Di samping itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial and Error
Leraning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah
kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan.
Dari
penelitiannya itu, Thorndike menemukan hukum-hukum sebagai berikut:
(1)
Law of effect yaitu jika sebuah respons
menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dengan respons akan
semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak
memuaskan (menggangu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan
stimulus dan respons tersebut.
(2)
Law of readiness (hukum kesiapsiagaan) pada
prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari
pendayagunaan conductions unit (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan
kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu. Jelas, hukum ini semata-mata bersifat spekulatif yang menurut Reber
(1988), hanya bersifat historis.
(3)
Law of exercise (hukum pelatihan) ialah generalisasi in law of use and law of disuse.
Menurut Hilgard & Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil belajar)
sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin
kuat (law of use). Sebaliknya, jika
perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunkan maka perilaku tersebut
akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of disuse).[8]
2. Pembiasaan Klasik
Teori
pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil
eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia
yang berhasil menggondol hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical
conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara
mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflek tersebut (Terrace, 1973).
Dalam
eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan
antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned
response (CR), dan Unconditioned-response (UCR). CS adalah rangsangan yang
mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR.
Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari,
dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Berdasarkan
eksperimen Pavlov menyimpulakan bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai
dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Apabila stimulus yang
diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS)
cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita
kehendaki yang dalam hal ini CR.[9]
3. Pembiasaan
Perilaku Respons
Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini diciptakan
oleh Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904). Tema pokok yang mempengaruhi
karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi
yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno, 1987).
“Operant” adalah sejumlah
perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang
dekat (Rober, 1988). Respons dalam operant
conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek
yang ditimbulkan oleh reinforce.
Reinforce sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kamungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu.
Dalam eksperimennya, Skinner
menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian
terkenal dengan nama “Skinner box”. Eksperimen yang dilakukan Skinner mirip
sekali dengan trial and error learning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal
ini, fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan
satisfaction/kepuasan, sedangkan menurut Skinner fenomena tersebut melibatkan
reinforcement/penguatan.
Selanjutnya, proses belajar dalam
teori operant conditioning juga
tunduk kepada dua hukum operant yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law
of operant extinction. Menutut law of
operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat.
Sebaliknya, menurut law of operant
extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak
diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah
(Hintzman, 1987). Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan hukum-hukum
yang melekat dalam proses belajar menurut teori pembiasaan yang klasik.[10]
Dalam pengajaran, operants conditioning menjamin
respon-respon terhadap stimulus. Apabila murid tidak menunjukkan reaksi-reaksi
terhadap stimulus, guru tak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya ke arah
tujuan behavior. Guru berperan penting di dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan
kegiatan belajar ke arah tercapainya tujuan yang telah dirumuskan.[11]
Teori-teori belajar hasil eksperimen
Thorndike, Skinner, dan Pavlov di atas, jika renungkan dan bandingkan dengan
teori dan juga riset psikologi kognitif, mengandung banyak kelemahan,
diantaranya:
a. Proses itu
dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental
yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya;
b. Proses belajar
itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti mesin dan robot,
padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan
self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenannya ia bisa
menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau
berlawanan dengan kata hati;
c. Proses belajar
manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima,
mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dengan
hewan.[12]
B.
Teori Belajar
Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif adalah cabang
psikologi yang mempelajari proses mental termasuk bagaimana orang berfikir,
merasakan, mengingat, dan belajar. Bidang psikologi kognitif sangat luas,
tetapi umumnya dimulai dengan melihat bagaimana masukan sensori berubah menjadi
keyakinan dan tindakan melalui proses kognisi.
Istilah psikologi kognitif
diciptakan oleh Ulric Neisser tahun 1967
dalam sebuah bukunya yang berjudul Cognitive Psychology. Psikologi kognitif
mengakui otak menjalankan fungsi utama, yaitu berpikir. Otak adalah sistem
fisik murni yang bekerja (meskipun kompleks) dalam batas-batas hukum alam dan
kekuatan sebab dan akibat. Pandangan ini disebut fungsionalisme kausal atau
fungsionalisme.[13]
1. Teori
Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari
Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan
berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan
berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu
akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap
amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a.
Tahap Sensori Motor (dari
lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat
sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang,
mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan
kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting
muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu
menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan
menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
b.
Tahap Pra-operasional (
kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan
anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai
realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat
banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya
yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
c.
Tahap Operasi Konkrit
(kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran
logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu
menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang
sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran
yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan
bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas.
Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang
mengetahui bila membuat kesalahan.
d.
Tahap Operasi Formal (kurang
lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak,
yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat
memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan
hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh
karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat
hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.[14]
2.
Jerome Bruner Dengan
Discovery Learningnya
Bruner
menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner
meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk,
yaitu: enactive, iconic dan simbolic. Pembelajaran enaktif
mengandung sebuah kesamaan dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget.
Pengetahuan
enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek,
melakukan pengetahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik
sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali (‘melakukan’
kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan
aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan
dalam pikiran.
Pembelajaran
ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini,
anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak
mereka. Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon
mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk
menjelaskan dalam kata-kata.
Pembelajaran
simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui
representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak
memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya,
membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang
satu ini serupa dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam teori
Piaget.
Jika
dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discoveri learningnya Bruner dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1.
Belajar merupakan kecenderungan dalam diri manusia,
yaitu Self-curiousity (keingintahuan) untuk mengadakan petualangan
pengalaman.
2.
Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia
mengubah struktur yang ada. Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi
berbagai kemungkinan pengenalan.
3.
Kualitas belajar penemuan diwarnai modus imperatif
kesiapan dan kemampuan secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
4.
Penerapan belajar penemuan hanya merupakan garis besar
tujuan instruksional sebagai arah informatif.
5.
Kreatifitas metaforik dan creative conditioning
yang bebas dan bertanggung jawab memungkinkan kemajuan.
3. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Psikologi
pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum
belajar yang bermakna. Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar
bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote
learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi
baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang
sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan
menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Menurut Ausubel
supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa
menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir
dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan
sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam
mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak
ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada.
Ia juga
berpendapat bahwa pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang
penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan
informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk
mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa,
sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya.
Belajar
dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh
Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai
dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik
itu mampu mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang
dimilikinya.
Belajar
seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang
dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah
dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan :
a.
Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh
guru dan harus sesuai dengan tingkat
perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
b.
Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor
motivasional memegang peranan penting dalam hal ini, sebab peserta
didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak
mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini
perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.
Berdasarkan
uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses
belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan
pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2
hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan
yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh
motivasi.
Dengan
demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang
diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat
bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna
daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga
dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi
penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik.[15]
4. Teori Belajar “Cognitive-Field” dari Lewin
Tokoh dari teori kognitif adalah Kurt Lewin (1892-1947).
Mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan menaruh perhatian
kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin memandang masing-masing individu
berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana
individu bereaksi disebut life space. Life space mencankup perwujudan
lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang – orang yang
dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia
miliki.
Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat
dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah
hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri,
yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan
lebih penting pada motivasi dari reward.[16]
C. Teori Belajar Humanistik
Aliran
psikologi humanistik sangat terkenal dengan konsepsi bahwa esensinya manusia
itu baik menjadi dasar keyakinan dan mengajari sisi kemanusiaan. Psikologi
humanistik utamanya didasari atas atau merupakan realisasi dari psikologi
eksistensial dan pemahaman akan keberadaan dan tanggung jawab sosial seseorang.
Dua psikolog yang ternama, Carl Rogers dan Abraham Maslow, memulai gerakan
psikologi humanistik perspektif baru mengenai pemahaman kepribadian seseorang
dan meningkatkan kepuasan hidup mereka secara keseluruhan.
Psikologi
humanistik adalah perspektif psikologis yang menekankan studi tentang seseorang
secara utuh. Psikolog humanistik melihat perilaku manusia tidak hanya melalui
penglihatan pengamat, malainkan juga melalui pengamatan atas perilaku individu
mengintegral dengan perasaan batin dan citra dirinya.
Studi
psikologi humanistik melihat manusia, pemahaman, dan pengalaman dalam diri
manusia, termasuk dalam kerangka belajar dan belajar. Mereka menekankan
karakteristik yang dimiliki oleh makluk manusia seutuhnya seperti cinta,
kesedihan, peduli, dan harga diri. Psikolog humanistik mempelajari bagaimana
orang-orang dipengaruhi oleh persepsi dan makna yang melekat pada pengalaman
pribadi mereka. Aliran ini menekankan pada pilihan kesadaran, respon terhadap
kebutuhan internal, dan keadaan saat ini yang menjadi sangat penting dalam
membentuk perilaku manusia.
Pendekatan
pengajaran humanistik didasarkan pada premis bahwa siswa telah memiliki
kebutuhan untuk menjadi orang dewasa yang mampu mengaktualisasi diri, sebuah
istilah yang digunakan oleh Maslow (1954). Aktualisasi diri orang dewasa yang
mandiri, percaya diri, realistis tentang tujuan dirinya, dan fleksibel. Mereka
mampu menerima dirinya sendiri, perasaan mereka, dan lain-lain di sekitarnya.
Untuk menjadi dewasa dengan aktualisasi dirinya, siswa perlu ruang kelas yang
bebas yang memungkinkan mereka menjadi kreatif.
Tujuan dasar
pendidikan humanistik adalah mendorong siswa menjadi mandiri dan independen, mengambil tanggung jawab
untuk pembelajaran mereka, menjadi kreatif dan tertarik dengan seni, dan
menjadi ingin tahu tentang dunia di sekitar mereka. Sejalan dengan itu,
prinsip-prinsip pendidikan humanistik disajikan sebagai berikut.
a.
Siswa harus dapat memilih apa yang mereka ingin
pelajari. Guru humanistik percaya bahwa siswa akan termotivasi untuk mengkaji
materi bahan ajar jika terkait dengan kebutuhan dan keinginannya.
b.
Tujuan pendidikan harus mendorong keinginan siswa
untuk belajar dan mengajar mereka tentang cara belajar. Siswa harus memotivasi
dan merangsang diri pribadi untuk belajar sendiri.
c.
Pendidik humanistik percaya bahwa nilai tidak relavan
dan hanya evaluasi diri (selfevaluation) yang bermakna. Pemeringkatan mendorong
siswa belajar untuk mencapai tingkat tertentu, bukan untuk kepuasan pribadi.
Selain itu, pendidik humanistik menentang tes objektif, karena mereka menguji
kemampuan siswa untuk menghafal dan tidak memberikan umpan balik pendidikan
yang cukup kepada guru dan siswa.
d.
Pendidik humanistik percaya bahwa, baik perasaan
maupun pengetahuan, sangat penting dalam proses belajar dan tidak memisahkan
domain kognitif dan afektif.
e.
Pendidik humanistik menekankan perlunya siswa
terhindar dari tekanan lingkunngan, sehingga mereka akan merasa aman untuk
belajar. Setelah siswa merasa aman, belajar mereka menjadi lebih mudah dan
lebih bermakna.[17]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara pragmatis, teori
belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling
berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumlah fakta dan penemuan yang
berkaitan dengan peristiwa belajar.
Pembahasan tentang teori belajar yang telah dipaparkan di
atas, memberikan pandangan untuk dapat memberikan kesimpulan tentang poin –
poin yang telah dibahas antara lain: belajar sebagai kegiatan siswa jika
dipandang dari teori-teori tersebut adalah perubahan tingkah laku
(behavioristik), untuk mempelajari proses mental, bagaimana cara berfikir,
mengingat, merasakan dan belajar (kognitif), dan studi tentang melihat manusia
secara utuh, tidak hanya melalui penglihatan pengamat tetapi juga pengamatan
atas perilaku individu, mengintegralkan dengan perasaan batin dan citra rasa
(humanistik).
Dari ketiga teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran perlu
diterapkannya beberapa teori agar dengan pembelajaran tersebut dapat
tercapainya proses belajar yang diharapkan. Dari ketiga teori tersebut jika
digabungkan maka sesuai dengan apa yang sampaikan oleh UNISCO bahwa untuk
meningkatkan atau memajukan manusia harus dengan sistem pendidikan yang mengacu
pada, belajar bekerja (learning to do), belajar mengetahui
(learning to know), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar hidup bersama
(learning to live together).
Saran
Semoga makalah
ini dapat berguna bagi kita semua. Mohon maaf atas segala kesalahan. Kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat diharapkan.
Daftar Pustaka
Dalyono.
2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Danim,
Sudarwan dan Khairl. 2011. Psikologi
Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Http://ariefian84.wordpress.com/2010/06/08/teori-kognitif/ (diakses: 13 Oktober 2013)
Http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik (diakses: 13 Oktober 2013)
Http://magister-pendidikan.blogspot.com/p/teori-kognitif.html (diakses: 13 Oktober 2013)
Http://mihwanuddin.wordpress.com/2011/09/19/toeri-belajar-humanistik-pengertian-teori-belajar-humanistik-tokoh-teori-belajar-humanistik-prinsip-dalam-teori-belajar-humanistik-aplikasi-teori-belajar-humanistik-implikasi-teori-belajar-humani/ (diakses: 13 Oktober 2013).
Muhibbinsyah. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
[1]
http://mihwanuddin.wordpress.com/2011/09/19/toeri-belajar-humanistik-pengertian-teori-belajar-humanistik-tokoh-teori-belajar-humanistik-prinsip-dalam-teori-belajar-humanistik-aplikasi-teori-belajar-humanistik-implikasi-teori-belajar-humani/
[2] Muhibbinsyah,
Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan
Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 102.
[4]
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
[14] http://magister-pendidikan.blogspot.com/p/teori-kognitif.html
[15] http://ariefian84.wordpress.com/2010/06/08/teori-kognitif/
kaaak,, makasiaaa sangat membantu tugasku hihi ^^
BalasHapusAlhamdulillah..
HapusSenang bisa membantu.. 😊
wah akhirnya dapat referensi. makasih ya kak,,, sangat bermanfaat :)
BalasHapussama-sama :)
Hapusmakasih sob ..,, ijin comot yha ...
BalasHapusoke
Hapusijin share juga ya...
BalasHapusijin share juga ya...
BalasHapusTerima kasih ya atas tulisannya.
BalasHapusSangat bermanfaat
mantap sekali, trima kasih
BalasHapusterima kasih banyak menambah wawasan saya kak
BalasHapus