Selasa, 06 Januari 2015

Wacana (Bahasa Indonesia)



BAB I
PENDAHULUAN
            Kita telah mengetahui bahwa bahasa dapat dilihat berdasarkan tata bunyi (fonologi), bentuk kata (morfologi),struktur kalimat (sintaksis), bahkan berdasarkan kandungan maknanya (semantik) sehingga seolah-olah kita menganggap bahasa itu merupakan sesuatu yang dapat kita pisah-pisahkan berdasarkan komponen-komponennya tanpa mempertimbangkan bahwa sebenarnya komponen-komponen itu merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan di dalam konteks pemakaiannya.
Dalam kenyataannya, bahasa kita gunakan sebagai alat untuk berkomunikasi. Dengan demikian, bahasa tidak lagi dipandang sebeagi alat komunikasi yang diperinci dalam bentuk bunyi, frasa, ataupun kalimatnya secara terpisah-pisah. Kita memakai bahasa dalam wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat pertama menyebabkan timbulnuya kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu kembali ke kalimat pertama, dan seterusnya. Rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk kesatuan yang dinamakan wacana.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN WACANA
Pengertian wacana dapat dilihat dari berbagai segi.Dari segi sosiologi, wacana menunjuk pada hubungan konteks sosial dalam pemakaian bahasa.Sedangkan dari segi linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat.
Beberapa pengertian wacana adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Hawthorn (1992), wacana merupakan komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
2.      Menurut Roger Fowler (1977), wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya.
3.      Menurut Kridalaksana (2008),  wacana dalam linguistik berarti satuan bahasa terlengkap. Dalam hierarki gramatikal wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh.
4.      Menurut Hasan Alwi, dkk (2003: 419), wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk satu kesatuan. Alwi juga menyatakan bahwa pembicaraan tentang wacana memerlukan pembicaran tentang kalimat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kalimat.
Waktu kita kedatangan tamu, salam yang disampaikan oleh tamu di depan pintu kita jawab dengan salam pula. Pada saat seperti itu, baik tamu maupun kita sebagai tuan rumah menyatakan pengetahuan tentang kehadiran masing-masing, seperti pada contoh berikut.
(1)   Tamu (T)                     : Assalamualaikum.
Tuan Rumah (TR)       : Waalaikumsalam.
Salam timbal balik seperti pada contoh (1) menyatan pengetahuan Tamu ataupun Tuan Rumah tentang kehadiran masing-masing, di samping kesediaan para pemberi salam itu untuk secara tersirat menerima kehadiran masing-masing. Biarpun makna salam tersebut di atas boleh dikatakan telah luruh dan menjadi ungkapan kebiasaan untuk saling menyapa saja pada saat bertemu, dalam pergaulan ujaran itu penting sebagai pernyataan dari kedua belah pihak tentang kesediaannya mengadakan komunikasi. Karena kedua salam itu membentuk urutan yang koheren atau runtut, kita dapat menyatakan bahwa contoh (1) merupakan contoh wacana yang apik, biarpun sederhana.
      Sudah tentu, contoh (1) itu mungkin merupakan bagian atau fragmen saja dari wacana yang lebih besar. Hal itu memang demikian apabila tuan rumah, setelah membukakan pintu bagi tamunya, kemudian melanjutkan percakapannya dengan tamu seperti pada contoh (2) ini.
(2)   TR: Oh, rupanya Dik Ali. Mari, masuk!
T  : Terima kasih, Bu.
Percakapan itu diikuti oleh tindakan bersalam-salaman dan keduanya kemudian masuk ke ruang tamu dan duduk.Kemudian percakapan itu mungkin dilanjutkan dengan percakapan pada contoh (3) berikut.
(3)   TR: Bagaimana keluarga di rumah?
R  : Baik-baik saja, Bu. Di sini begitu juga, bukan?
TR: Alhamdulillah!
      Contoh lain wacana lisan yang menekankan interaksi di antara para pembicara ialah tanya jawab antara, misalnya, pasien dan dokter, polisi dan tersangka, atau jaksa dan terdakwa. Wacana tulisan yang bersifat interaksi, antara lain, ialah polemik, surat-menyurat antarilmuwan, sastrawan, sahabat, dan dua kekasih.Wacana lisan yang mementingkan “isi” dapat berupa pidato, ceramah, dakwah, kuliah, atau deklamasi. Wacana tulisan yang bersifat transaksi ialah intruksi, pemberitahuan, pengumuman, iklan, surat, undangan, makalah, esai, cerita pendek, dan novel. Apapun bentuknya, wacana mengandaikan adanya penyapa dan pesapa.Dalam wacana lisan penyapa ialah pembicara dan pesapa ialah pendengar.Dalam wacana tulisan penyapa ialah penulis, sedangkan pesapa ialah pembicara.
(4)   A: Bagaimana Bambang sekarang?
B: Sudah baik. Dia sudah tidak lagi memukuli istrinya.
Pada contoh di atas jawaban yang diberikan oleh B menyiratkan bahwa Bambang adalah orang yang sudah menikah dan dikenal sebagai suami yang suka memukuli istrinya.Simpulan atau implikasi seperti ini dinamakan implikatur.Perlu dibedakan adanya dua macam implikatur, yaitu implikatur konvesional dan implikatur percakapan.Implikatur konvesional didasarkan pada pengetahuan kita tentang dunia, sedangkan implikatur percakapan benar-benar didasarkan pada data kalimat dalam percakapan.
Contoh implikatur konvesional:
      Jangan pulang malam-malam, Ani.
Contoh implikatur percakapan:
      A: Perutku sudah keroncongan.
      B: Kan ada warung diujung jalan ini!

B.     KONTEKS WACANA
Konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana.Tiga unsur yang terakhir, yaitu bentuk amanat, kode, dan sarana perlu mendapat penjelasan. Bentuk amanat dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya. Kode ialah ragam bahasa yang dipakai, misalnya bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat daerah,  atau bahasa daerah. Sarana ialah wahana komunikasi yang dapat berwujud pembicaraan bersemuka atau lewat telepon, surat, dan televisi.
Sebuah ujaran yang sama dapat mempunyai pengertian yang berlainan jika situasi dan unsur-unsur lainnya berbeda. Perbedaan pendapat juga bias terjadi tentang orang yang sama dalam peranannya yang berbeda-beda. Unsur antarwacana atau konteks penting pula dalam menentukan penafsiran makna kerena dalam wacana pengertian sebuah teks atau bagian-bagiannya sering ditentukan oleh pengertian yang diberikan oleh teks lain. Teks di sini dapat berwujud ujaran, paragraf, ataupun wacana, dan bahkan sebuah rambu lalu lintas. Dalam menafsirkan pengertian yang terkandung dalam wacana, kita dapat menerapkan apa yang disebut prinsip penafsiran lokal. Prinsip ini menyatakan bahwa pesapa tidak membentuk konteks lebih besar daripada yang diperlukan untuk sampai pada suatu tafsiran.Begitu pula tentang waktu, penafsiran kita juga berdasar pada prinsip penafsiran lokal ini.
Agaknya dapat dipahami bahwa dalam menyesuaikan perilaku dengan kebiasaan dalam masyarakat, orang memerlukan bimbingan atau pedoman. Bimbingan secara langsung bagi manusia tiada lain adalah akalnya sendiri, dank arena itu akal bagi manusia merupakan pembimbing yang tangguh. Jadi, manusia mempergunakan akal yang didasarkan atas pengalamannya. Dengan kata lain, ia menerapkan prinsip analogi. Prinsip analogi merupakan dasar yang dipakai baik oleh pembicara maupun pendengar untuk menentukan tafsiran dalam konteks. Dalam upaya mendapatkan tempat berpijak yang sama, pengalaman-penngalaman sebelumnya yang mirip merupakan dasar bagi kelancaran komunikasi.

C.     KOHESI DAN KOHERENSI
Kohesi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana.Koherensi juga merupakan hubungan perkaitan antarproposisi, tetapi perkaitan tersebut tidak secara eksplisit atau nyata dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya.Dengan perbedaan antara kohesi dan koherensi seperti dinyatakan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada wacana yang sekaligus kohesif dan koheren, da nada pula wacana yang koheren tetapi tidak kohesif. Dengan kata lain, suatu wacana tidak mungkin kohesif tanpa menjadi koheren. Untaian kalimat yang kohesif tetapi tidak koheren tidak membentuk suatu wacana.
Kohesi dapat pula dilihat berdasarkan hubungan unsur-unsur kalimat.Unsur-unsur kalimat itu dihubungakan melalui penggunaan sebuah konjungtor. Berdasarkan konjungtor yang digunakan, kohesi mengungkapkan:
a.       Pertentangan yang dinyatakan dengan konjungtor tetapi atau namun,
b.      Pengutamaan yang dinyatakan dengan konjungtor malahan atau bahkan,
c.       Perkecualian yang dinyatakan dengan konjungtor kecuali,
d.      Konsesi yang dinyatakan dengan konjungtor walaupun atau meskipun; atau
e.       Tujuan yang dinyatakan dengan konjungtor agar atau supaya.
Kohesi dapat pula ditandai oleh pengulangan kata atau frasa, baik secara utuh maupun secara sebagian. Kohesi sering pula diciptakan dengan memakai kata yang maknanya sama sekali berbeda dengan makna kata yang diacunya. Akan tetapi, yang penting dalam hal ini ialah bahwa kata yang digantikan dan kata pengganti menunjuk ke referen yang sama. Dengan kata lain, kedua kata itu mempunyai koreferensi.
      Kohesi dalam wacana tidak hanya ditentukan oleh adanya koreferensi, tetapi juga oleh adanya hubungan leksikal.Hubungan antara kata mebel dan kursi, misalnya, hubungan hiponimi. Kuri (meja, lemari, dan beberapa yang lain) merupakan hiponim, yakni kata yang maknanya ‘dipayungi oleh’, kata mebel. Hubungan ini boleh dikatakan merupakan hubungan antara kata spesifik dan kata umum.Kursi, sebagai kata spesifik, merupakan “bagian” dari mebel. Karena kata umum selalu mencakup kata spesifik, sedangkan kata spesifik tidak pernah mencakup kata umum, maka pembolak-balikan kedua hal itu akan menimbulkan keanehan. Selain hubungan hiponomi, hubungan bagian-keseluruhan dipakai pula untuk menunjukkan kohesi dan koherensi sekaligus.Hubungan keseluruhan-bagian dapat dibagi menjadi dua macam, hubungan yang bagiannya (a) bersifat wajib dan (b) bersifat manasuka.

D.    TOPIK, TEMA, DAN JUDUL
      Wacana yang baik mempunya topik, yakni proposisi yang berwujud frasa atau kaliamt yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan. Dalam percakapan, para pembicara dapat berbicara tentang sebuah topik, masing-masing berbicara tentang topiknya sendiri, atau mereka sama-sama berbicara tentang topik yang sama. Dengan kata lain, para pembicara berbagi topik karena mereka berbicara tentang wacana yang bertopik tunggal. Berbeda dengan topik, tema lebih luas lingkupnya dan biasanya lebih abstrak.Setiap topic dapat dijabarkan lagi menjadi berbagai judul yang sifatnya lebih sempit dan menjurus.Meskipun tema, topik, dan judul dapat dibeda-bedakan, ada kalanya ketiga pengertian itu bertumpang-tindih.
E.     REFERENSI DAN IFERENSI KEWACANAAN
      Dalam wacana lisan atau tulisan terdapat berbagai unsur seperti pelaku perbuatan, penderita, perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dan tempat perbuatan.Unsur itu acapkali harus diulang-ulang untuk mengacu kembali atau untuk memperjelas makna.Oleh karena itu, pemilihan kata serta penempatannya harus jelas sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif, tetapi juga koheren. Dengan kata lain, referensinya atau pengacuannya harus jelas.
      Berbeda dengan pengacuan, inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.






BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

a.       Pengertian wacana dapat dilihat dari berbagai segi. Dari segi sosiologi, wacana menunjuk pada hubungan konteks sosial dalam pemakaian bahasa. Sedangkan dari segi linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat.
Beberapa pengertian wacana adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Hawthorn (1992), wacana merupakan komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
2.      Menurut Roger Fowler (1977), wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya.
3.      Menurut Kridalaksana (2008),  wacana dalam linguistik berarti satuan bahasa terlengkap. Dalam hierarki gramatikal wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh.
4.      Menurut Hasan Alwi, dkk (2003: 419), wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk satu kesatuan.
b.      Konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana.
c.       Ada dua macam implikatur, yaitu implikatur konvesional dan implikatur percakapan. Implikatur konvesional didasarkan pada pengetahuan kita tentang dunia, sedangkan implikatur percakapan benar-benar didasarkan pada data kalimat dalam percakapan.
d.      Kohesi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana. Koherensi juga merupakan hubungan perkaitan antarproposisi, tetapi perkaitan tersebut tidak secara eksplisit atau nyata dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya.
e.       Berdasarkan konjungtor yang digunakan, kohesi mengungkapkan:
1.      Pertentangan yang dinyatakan dengan konjungtor tetapi atau namun,
2.      Pengutamaan yang dinyatakan dengan konjungtor malahan atau bahkan,
3.      Perkecualian yang dinyatakan dengan konjungtor kecuali,
4.      Konsesi yang dinyatakan dengan konjungtor walaupun atau meskipun; atau
5.      Tujuan yang dinyatakan dengan konjungtor agar atau supaya.
f.       Wacana yang baik mempunya topik, yakni proposisi yang berwujud frasa atau kaliamt yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan.




DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi ke-enam). Jakarta: Balai Pustaka
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (edisi ke-Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar