BAB I
PENDAHULUAN
A.
Sejarah Good Governance
Sejak
akhir tahun 1980-an, istilah Governance mulai digunakan untuk kepentinngan yang
berbeda. Tatkala istilah governance dipopulerkan, penggunaan perubahan istilah
dari government ke governance lebih dimaksudkan untuk menunjukkan perlunya
gelombang baru reformasi pemerintahan. Penggunaan istilah governance sebagai
kongsep yang berbeda dengan government, mulai dipopulerkan secara efektif oleh
Bank Dunia sejak tahun 1989. Dalam laporannya yang sangat terkenal “Sub Saharan
Africa: From Crisis to Sustainable Growth”.
Dalam
laporan ini, Bank Dunia (1989) mendefenisikan governance sebagai “exercise
of political of managenation”.
Selanjutnya laporan ini menekankan bahwa legitimasi politik dan consensus
merupakan prasyarat bagi pembangun berkelanjutan. Aktor negara (pemerintah),
bisnis, dan civil society harus besinergi untuk membangun consensus dan peran
negara tidak lagi bersifat regulatif, tapi hanya sebatas fasilitatif. Oleh
karena itu, Abrahamsen[1]
legitimasi politik dan konsensus menjadi pilar utama bagi Good Governance.
Versi Bank Dunia ini hanya bias dibangun dengan melibatkan aktor non-negara
yang seluas-luasnya dan melimitasi keterlibatan negara (pemerintah).
B.
Definisi Good Governance
Istilah good governance pertama
kali dipopulerkan oleh lembaga dana internasional seperti World Bank, UNDP, dan
IMF dalam rangka menjaga dan menjamin kelangsungan dana bantuan yang diberikan
kepada negara-negara sasaran bantuan. Secara umum istilah good governance dan clean governance memiliki
pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau memengaruhi urusan
publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut MM. Billah, istilah good governance berarti mengarahkan atau
mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik dalam satu negeri. Karena good governance dapat diartikan sebagai
tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat
mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan
nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian. Dengan demikian ranah
good governance tidak terbatas pada negara atau birokrasi pemerintahan, tetapi
juga pada ranah masyarakat sipil yang direpresentasikan oleh organisasi
non-pemerintah (ornop) seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Sisi lain memaknai good governance
sebagai penerjemahan kongkrit dari demokrasi. Menurut Taylor, Good Governance adalah pemerintahan
demokratis seperti yang dipraktikkan dalam negara-negara demokrasi maju di
Eropa Barat dan Amerika. [2]
Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dianggap sebagai sistem
pemerintahan yang baik karena merefleksikan sifat-sifat good governance yang
secara normatif dituntut kehadirannya bagi suksesnya suatu bantuan badan-badan
dunia.
Santosa menjelaskan bahwa
governance sebagaimana didefenisikan UNDP adalah pelaksanaan politik, ekonomi,
dan admistrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pelaksanaan kewenangan
tersebut bisa dikatakan baik jika dilakukan dengan efektif dan efesien,
responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokrtis, akuntabel, serta
transparan.[3]
Di Indonesia, substansi
wacana good governance dapat di padankan dengan istilah pemerintahan yang
baik,bersih, dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah sikap dimana
kekuasaan di lakukan oleh masyarakat yang di atur oleh berbagai tingkatan
pemerintahan Negara yang berkaitan dengan sumber-sumber social, budaya,
politik, serta ekonomi.
C.
Ciri-Ciri Good
Governance
Good Governance memiliki beberapa ciri-ciri, di antaranya sebagai
berikut:
1.
Penyelenggaraan pemerintahan, harus dapat
dipertanggungjawabkan.
2.
Penyelenggaraan pemerintahan diletakkan pada mekanisme
yang jelas dan diinformasikan pada semua pihak.
3.
Penyelenggaraan pemerintahan harus bersifat terbuka
sehingga dapat menerima kritik dari pihak lain guna memperbaiki kinerjanya.
4.
Pemerintah diselenggarakan dengan menegakkan peraturan
yang ada.
5.
Penyelenggaraan pemerintah harus mengakomodasi
kepentingan bersama serta melibatkan masyarakat dan pihak swasta.
6.
Penyelenggaraan pemerintahan harus didukung oleh
sumber daya yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam menjalankan
tugas-tugasnya.
7.
Penyelenggaraan pemerintahan harus peka terhadap
perubahanyang ada dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan itu.
8.
Sumber daya manusia yang terlibat dalam penyelenggaraan
pemerintahan mampu memilih dan memisahkan kepentingan pribadi dan kelompok
dengan kepentingan umum/kenegaraan.
9.
Penyelenggaraan pemerintahan harus mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas dan kapasitas yang ada
secara optimal.[4]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Prinsip-prinsip Good Governance
Untuk merealisasikan
pemerintahan yang professional dan akuntabel yang bersandar pada
prinsip-prinsip good governance, Lembaga Admistrasi Negara (LAN) telah
menyimpulkan sembilan (9) aspek fundamental dalam perwujudan good governance, yaitu:
1.
Partisipasi
(Participation)
Setiap orang
atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak suara yang
sama dalam proses pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga
perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.
Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan
mengungkapkan pendapat serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2.
Aturan
Hukum (Rule of Law)
Asas penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintahan
yang professional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa. Tanpa diimbangi oleh sebuah hukum dan
penegakannya yang kuat, partisipasi akan berubah menjadi proses politik yang
anarkis. Ditambahkan pula bahwa pelaksana kenegaraan dan pemerintahan juga
harus ditata oleh sebuah sistem dan aturan hukum yang kuat serta memiliki
kepastian.
Sehubungan
dengan itu, Santosa (2001, h. 87) menegaskan, bahwa proses mewujudkan cita Good rule of law Governance, harus diimbangi
dengan komitmen untuk menegakkan, dengan karakter-karakter antara lain sebagai
berikut:
a.
Supremasi
hukum (the supremacy of law)
b.
Kepastian
hukum (legal certainty)
c.
Hukum
yang responsif
d.
Penegakan
hukum yang konsisten dan non-diskriminatif
e.
Independensi
peradilan
3.
Transparansi
(Transparency)
Transparan berarti adanya
keterbukaan terhadap public sehingga dapat diketahui oleh pihak yang
berkepentingan mangenai kebijakan pemerintah dan organisadi badan usaha,
terutama para pemberi pelayanan publik.
Seperti kasus korupsi saat
ini, salah satu yang dapat
menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen
pemerintahan yang tidak transparan. Untuk itu
PBB
membantu pemulihan (recovery) perekonomian Indonesia
menyarankan perlunya tindakan pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan
pemerintahan yang transparan[5].
Gaffar menyimpulkan setidaknya ada delapan (8) aspek
mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:
ü
Penetapan
posisi, jabatan atau kedudukan
ü
Kekayaan
pejabat publik
ü
Pemberian
penghargaan
ü
Penetapan
kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
ü
Kesehatan
ü
Moralitas
para pejabat dan aparatur pelayanan publik
ü
Keamanan
dan ketertiban
ü Kebijakan strategis untuk pencerahan
kehidupan masyarakat.
4.
Responsif
(Renponsiveness)
Renponsif
merupakan salah satu asas fundamental menuju cita good governance, yakni
pemerintah harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan
masyarakat. Garraf menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan
masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginan-keinginan itu,
tetapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisis kebutuhan-kebutuhan
mereka, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi
kepentingan umum tersebut.
Sesuai dengan
asas reponsif, maka setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etik, yakni etik
individual yang menuntut mereka agar memiliki kriteria kapabilitas dan
loyalitas profesional, dan etik sosial menuntut mereka agar memliki
sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik.
5. Konsensus (Consensus Orientation)
Konsensus, yakni pengambilan
keputusan melalui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasarkan
kesepakatan bersama. Cara pengambilan keputusan tersebut selain dapat memuaskan
semua pihak atau sebagian besar pihak juga dapat menarik komitmen komponen
masyarakat sehingga memiliki legitimasi untuk melahirkan coercive power
(kekuatan memaksa) dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan.
Dalam
konsep islam juga telah diterangkan dalam Al-quran bahwa untuk menganmbil suatu keputusan harus
melalui kesepakatan bersama atau musyawarah.
Seperti dalam surat As-syura ayat 38 :
Seperti dalam surat As-syura ayat 38 :
والذين
استجابوا لربهم واقامواالصلوة وامرهم شورى بينهم ومما رزقنهم ينفقون (٣٨
)
Artinya:
“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (As-syura : 38)
“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (As-syura : 38)
6. Kesetaraan dan Keadilan
(Equity)
Terkait
dengan asas konsensus, transparansi dan responsif, good governance juga harus
didukung dengan asas equity, yakni kesamaan dalam perlakuan(treatment) dan
pelayanan. Asas ini dikembangkan berdasarkan pada sebuah kenyataan bahwa bangsa
Indonesia ini tergolong bangsa yang plural, baik dilihat dari segi etnik, agama
dan budaya. Karenanya prinsip equity harus diperhatikan agar tidak memunculkan
hal yang tidak diinginkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai sebuah
banga beradab, dan terus berupaya menuju cita good governance, proses
pengelolaan pemerintahan itu harus memberikan peluang, kesempatan, pelayanan
dan treatment yang sama dalam koridor kejujuran dan keadilan.
Dalam pandangan Islam juga telah
dijeslakan,
Artinya :
“Sungguh, Allah
menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak memerimanya, dan apabila kamu
menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh,
Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat.” (An-Nisa:
58).
7. Efektivitas ( Eefectiveness ) dan Efesiensi ( Effeciency )
Pemerintah juga harus memenuhi kriteria efektif dan
efesien, yakni berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya
diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya
kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan social. Adapun asan
efisiensi biasanya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan
yang terbesar, maka pemerintah tersebut termasuk dalam kategori pemerintah yang
efesien.
8.
Akuntabilitas
(Accountability)
Adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap
masyarakat yang memberi kewenangan untuk mengurusi kepetingan mereka. Setiap
pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan,
perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat.
9.
Visi Strategis (Strategis Vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk
menghadapi masa yang akan datang.kualifakasi ini menjadi penting dalam kerangka
perwujudan good governance,karena perubahan dunia dengan kemajuan
teknologi yang begitu cepat.Bangsa-bangsa yang tidak memiliki sensitifitas
terhadap perubahan serta perubahan ke depan,tidak saja akan tertinggal oleh
bangsa lain di dunia,tapi juga akan terperosok pada akumulasi
kesulitan,sehingga proses recovery-nya
tidak mudah.
Untuk mewujudkan cita good governance dengan asas-asas
fundamental sebagaimana telah dipaparkan di atas, setidaknya harus melakukan 5
aspek prioritas,yakni:
ü Penguatan Fungsi dan Peran Lembaga Peradilan
ü Kemandirian Lembaga Peradilan
ü Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas
ü Masyarakat Madani (Civil Society) yang Kuat dan Parsitipatif
ü Penguatan Upaya Otonomi Daerah
Pendapat lain tentang program dari visi strategis :
ü Penguatan dan Fungsi Lembaga Peradilan
ü Kemandirian Lembaga Peradilan
ü Profesionalitas dan Integritas Aparatur Pemerintah
ü Penguatan Partisipasi Masyarakat Madani (Civil Society)
ü Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dalam Otonomi Daerah
B.
Good Governance
dalam Tinjauan Islam
Islam sebagai agama yang diturunkan
Allah kepada umat manusia menaruh perhatian terhadap tata kelola pemerintahan
ini, meskipun dalam al-Qur’an tentu saja tidak selalu dinyatakan dalam bentuk
yang eksplisit. Islam telah menurunkan nilai-nilai dan mengajarkan prinsip-prinsip
tentang tata kelola pemerintahan tersebut. Ayat al-Qur’an surah al-Hajj ayat 41.
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الأرْضِ أَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ
Artinya:
”orang-orang
yang jika Kami teguhkan ke-kuasaan di muka bumi, niscaya mereka mendirikan
shalat, menu-naikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.
Dalam ayat ini, kita dapat melihat
bahwa tata kelola pemerintahan dalam perspektif al-Qur’an adalah suatu penggunaan
otoritas kekuasaan yang berorientasi pada:
1.
penciptaan suasana
kondusif bagi masyara-kat untuk pemenuhan kebutuhan spriritual dan rohaniahnya
sebagaimana disimbolkan oleh penegakan salat.
2.
penciptaan kemakmuran
dan kesejahteraan ekonomi sebagaimana dilambangkan oleh tindakan membayar zakat.
3.
penciptaan stabilitas
politik dan keamanan sebagaimana diilhamkan oleh tindakan amar makruf nahi mungkar.
Dengan perkataan lain, dalam ayat
ini terdapat tiga aspek tata kelola pemerintahan, yaitu:
v
spiritual
governance
v
ekonomi governance
v
politikal governance.
Untuk dapat mewujudkan pemerintahan
yang baik dalam tiga aspek tersebut diperlukan beberapa nilai dan asas yang
melandasinya. Dengan memperhatikan ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw dapat
ditemukan beberapa nilai dasar, yaitu syura, meninggalkan yang tidak berguna,
keadilan, ukhuwah, dan amanah.
Pemerintah yang baik yang mau menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai pemerintah. Lemahnya good governance disebabkan oleh lemahnya
kultur atau culture bases untuk hidup baik dan sehat. Merajalelanya
budaya korupsi dan tiadanya good governance itu merupakan gejala belum
berhasilnya dakwah islamiyah. Apalagi para pelaku korupsi itu sebagian besar
beragama Islam. Maka yang paling bertanggung jawab tentu adalah gerakan-gerakan
keagamaan itu sendiri.
Ada tiga tugas pokok pemerintahan yaitu fungsi pelayanan, fungsi
pemberdayaan dan pembangunan. Pelayanan akan membuahkan keadilan, pemberdayaan
akan mendorong kemandirian, dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran.
Saatnya masyarakat sekarang lebih proaktif untuk mengawasi kinerja dan perilaku
birokrasi.[6]
Indeks Korupsi di Indonesia kini adalah 2,9 korupsi masih menjadi
persoalan di Indonesia. Korupsi menurut UU 31 Tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001
tentang Korupsi adalah perbuatan melawan hukum, dengan maksud memperkaya diri
sendiri atau orang lain, dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Nabi Muhammad Saw
bersabda: Barangsiapa yang merampok dan merampas atau mendorong perampasan,
bukanlah dari golongan kami (yakni bukan dari umat Muhammad Saw) (HR
Thabrani dan Al Hakim).
Nilai-Nilai Islam
Islam sangat menyadari pentingnya birokrasi
yang handal dan terpercaya untuk menegakkan pemerintahan yang bersih (clean
goverment) dengan menempuh beberapa cara[7]:
1)
Sistem penggajian yang layak. Rasulullah
Muhammad Saw Bersabda: ”Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan
tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristeri hendaknya
menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika
tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa
mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)” (HR Abu Dawud). Hadis ini
memberi hak kepada pejabat atau pegawai negeri untuk mendapat jaminan
perumahan, (bantuan untuk mendapat) isteri, pelayan dan kendaraan.
2)
Larangan menerima suap
dan hadiah. Allah SWT SWT berfirman:
﴿وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
وَتُدْلُوْا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ
النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ﴾
“Dan
janganlah ada sebagian kalian makan harta benda sebagian yang lain dengan jalan
batil, dan janganlah menggunakannya sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim
dengan maksud agar kalian dapat makan harta orang lain dengan jalan dosa,
padahal kalian mengetahui (hal itu).” (QS. Al Baqarah [2]; 188)
Rasulullah Muhammad Saw Bersabda:
»لَعَنَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشِ بَيْنَهُمَا«
“Rasulullah SAW melaknat penyuap,
penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan.” (HR. Ahmad, Thabrani, Al-Bazar dan Al-Hakim)
Suap biasanya diberikan sebagai imbalan atas
keputusan atau jasa berkaitan dengan suatu kepentingan, yang semestinya wajib
diputuskan. Rasulullah Muhammad Saw Bersabda:
“Hadiah yang diberikan kepada
para penguasa adalah suht (haram) dan suap
yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad).
3)
Penghitungan kekayaan untuk menjaga
dari berbuat curang.
4)
Teladan dari pemimpin. Para
pemimpin hedaknya memberikan keteladanan, termasuk dalam soal harta.
5)
Mmemberikan hukuman yang setimpal
kepada pelaku kejahatan sesuai dengan hukum yang berlaku. Agar sanksi pidana
memberikan efek jera kepada pelaku dan sekaligus sebagai pelajaran kepada
masyarakat agar selalu waspada.
6)
Partisipasi masyarakat dalam
bidang pengawasan, sekaligus bisa jadi masyarakat bisa menyuburkan perilaku
korup di masyarakat
Disamping upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih
sebagai prasyarat terwujudnya demokrasi dan kesejahteraan Islam sebagai agama rahmatan
lil ’alamin mempunyai nilai-nilai universal yang kaya akan khasanah
keadilan, keutamaan, keluruhan moral etika, menjaga keseimbangan, pemenuhan hak
dan kewajiban, kesamaan derajat dan perlindungan hukum. Bahkan praktek
berbangsa dan bernegara sangat nyata dalam sejarah Nabi dan al Khulafa ar
Rasyidin.
Clean government (pemerintah
yang bersih) adalah salah satu komponen penting yang diperlukan sebuah negara
untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Islam
sebagai agama yang kaya akan nilai-nilai memberikan pedoman dalam perwujudan
sistem pemerintahan yang baik, agar kesejahteraan terwujud dengan baik.
C.
Good
Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah
Sebelumnya
perlu kita ketahui tentang pemahaman governence dan otonomi daerah,
Pemahaman governance tentu tidak
sama dengan konsep
government. Konsep
government lebih ditujukan
pada suatu organisasi
pengelolaan berdasarkan kekuasaan tertinggi (negara
dan pemerintahan). Di
sisi lain, governance
tidak sekedar melibatkan pemerintah, tetapi juga melibatkan
peran di luar negara dan pemerintah sehingga pihak yang
terlibat menjadi sangat
luas. Sementara itu,
konsep governance diartikan pemerintahan menunjuk pada proses,
yang melibatkan unsur eksekutif,
legislatif, yudikatif, serta
masyarakat dan pihak
swasta. Praktik yang
terbaiknya disebut good
governance (kepemerintahan yang baik).[8]
Dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah memberikan makna otonomi daerah pada
Pasal 1 Ayat 5:
“Otonomi Daerah
adalah hak, wewenang
dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
peraturan perundang-undangan”.
Dengan
otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya
berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah
daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Good
Governance dalam kerangka otonomi daerah menurut Pandangan Fikih Kontemporer. Bila kita kaitkan
dengan syari’ah, maka pertanyaannya adalah apakan hakikat governance dalam
perspektif fiqh kontemporer? Tidak ada suatu rumusan jadi dan baku mengenai
ini. Namun dari berbagai pernyataan terpancar didalam berbagai sumber syari’ah
kita dapat mengkonstruksi suatu pengertian good governance menuruf pandangan
syari’ah. Untuk ini kita dapat membaca ayat Al-Qur’an seperti Q.S. Hûd, 11:
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا
اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ
وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي
قَرِيبٌ مُجِيبٌ
Artinya:
”Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya [maksudnya: manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia], Karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
”Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya [maksudnya: manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia], Karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
D. Peranan Good Governance
1)
Pemberdayaan Masyarakat
Masyarakat
sipil sebagai kontrol politik, memiliki posisi amat strategis secara politik,
karena sebagai organ vital demokrasi di luar struktur kelembagaan formal.
2)
Pelayanan Publik
Untuk
menciptakan pelayanan publik yang berkualitas, pemerintah membutuhkan suatu
perubahan paradigma/pola pikir untuk mencari kombinasi yang tepat antara
pendekatan bottom up dengan top down, partial dengan comperhensive serta
keseimbangan antara inward looking dengan outward looking.
3)
Korupsi dan good
governance
Penerapan
good governance di negara kita menghadapihambatan besar di tengah masyarakat
yang korup dan kekuatan civil society yang masih lemah. Pemberantasan korupsi
merupakan agenda utama proyek governance.
4)
Pemerintah daerah dan
good governance
Pemerintah
daerah sedang menerapkan dan menegakkan good governance.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Good governance
and clean governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan
tindakan atau memengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut
dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun
prinsip-prinsip good governance adalah:
1.
Partisiapasi
2.
Penegakan
Hukum
3.
Transparansi
4.
Responsive
5.
Consensus
6.
Kesetaraan
7.
Efektivitas
dan Efesiensi
8.
Akuntabilas
9.
Visi
strategis
Untuk
mewujudkan cita good governance dengan
asas-asas fundamental sebagaimana telah dipaparkan di atas, setidaknya harus
melakukan 5 aspek prioritas,yakni:
1.
Penguatan
fungsi dan peran lembaga perwakilan
2.
Kemandirian
lembaga peradilan
3.
Profesionalitas
dan integritas aparatur pemerintah
4.
Penguatan
partisipasi masyarakat madani (civil society)
5.
Peningkatan
kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Semarang : PT. Tanjung Mas Inti,
1992.
Anwar,
Prof. Dr. H. Syamsul. 2007.
Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Books.
Sabarno,
Hari. 2007. Memandu Otonomi Daerah
Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Srijanti,
dkk. 2007. Etika Berwarga Negara.
Jakarta: Salemba Empat.
Ubaedillah, A, dkk. 2008. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

Yeremias, T. Keban. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik. Yogyakarta : Gava Media
Yusanto, Ismail. 1998. Islam
Ideologi Refleksi Cendekiawan Muda. Bangil: Al Izzah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar