Senin, 13 Mei 2013

Doktrin-doktrin Mu'tazilah


Doktrin-doktrin Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah mempunyai lima pokok ajaran yang disebut dengan Usulul Khamsah.
a.      Tauhid (Ke-Esaan)
Tauhid di sini maksudnya meng-Esa-Kan Tuhan dari segala sifat dan af’alnya yang menjadi pegangan bagi akidah Islam.
Orang-orang Mu’tazilah dikatakan ahli Tauhid karena mereka berusaha semaksimal mungkin mempertahankan prinsip ketauhidannya dari serangan Syi’ah Rafidiyah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk Jisim dan bisa menghindari juga dari serangan agama dualism dan Trinitas.
Ketauhidan dari golongan Mu’tazilah adalah,
1.      Tuhan tidak bersifat Qadim, kalau sifat Tuhan qadim berarti Allah berbilang-bilang, sebab ada dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya, padahal Allah adalah Maha Esa.[1]
2.      Mereka menafikan (meniadakan) sifat-sifat Allah, dalam hal ini mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat pada allah. Apa yang dipandang orang sebagai sifat bagi mu’tazilah tidak lain adalah Dzat allah itu sendiri, dalam artian allah tidak mempunyai sifat karena yang mempunyai sifat itu adalah makhluk. Jika tuhan mempunyai sifat berarti ada dua yang qadim yaitu dzat dan sifat sedangkan allah melihat, mendengar itu dengan dzatnya bukan dengan sifatnya.
3.      Al-Qur’an adalah makhluk, dikatakan makhluk karena al-Qur’an adalah firman dan tidak qadim dan perlu diyakini bahwa segala sesuatu selain allah itu adalah makhluk.[2]
4.      Allah bersifat Aliman, Qadiran, Hayyan, Sami’an, Basyiran dan sebagainya adalah dengan zat-Nya, tetapi ini bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri.
5.      Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
6.      Mereka menolak aliran Mujassimah, Musyabihah, Dualisme, dan Trinitas.
7.      Tuhan itu Esa bukan benda dan bukan Arrad serta tidak berlaku tempat (arah) pada-Nya.
b.      Al-Adlu (Keadilan)
Manusia memiliki kebebasan dalam segala perbuatannya dan tindakannya. Karena kebebasan itulah manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, kalau perbuatan itu baik Tuhan memberikan kebaikan dan kalau perbuatannya buruk atau salah Tuhan akan memberi siksaan, inilah yang mereka maksudkan keadilan.
Lebih jauhnya tentang keadilan ini, mereka berpendapat:
1.      Tuhan menguasai kebaikan serta tidak menghendaki keburukan.
2.      Manusia bebas berbuat dan kebebasan ini karena Qudrat (Kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri manusia.
3.      Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmah kebijaksanaan.
4.      Tuhan tidak melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan tidak menyuruh kecuali yang disuruh-Nya.
5.      Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia itu memiliki Qudrat dan Iradat, tetapi Qudrat dan Iradat itu hanya merupakan pinjaman belaka.
6.      Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan Qudrat dan Iradat.
c.       Al-wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya. Di sinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak terlalu menjalankan kehidupannya.
Ajarannya ialah:
1.      Orang mukmin yang berdosa besar lalu mati sebelum taubat ia tidak akan mendapat ampunan Tuhan.
2.      Di akhirat tidak aka nada syafaat sebab syafaat berlawanan dengan janji dan ancaman.
3.      Tuhan akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan.
d.      Al-Manzilah Bainal Manzilataini (Tempat di antara dua Tempat)
Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa yang dimaksud dengan tempat di antara dua tempat yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah yaitu tempat bagi orang fasik, yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak tidak musyrik, maka mereka dinamai fasik dan nantinya akan ditempatkan di suatu tempat yang berada di antara surga dan neraka.
Orang-orang fasik ini tidak akan keluar dari neraka yang agak dingin dan tidak pula masuk surga yang penuh kenikmatan.
e.       Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Menyuruh Kebaikan dan Melarang Keburukan)
Dasar ini pada kenyataannya hanya sekedar berhubungan dengan amalan lahir dan dengan dasar ini pula membuat heboh dunia Islam selama 300 tahun, pada abad permulaan Islam, sebab menurut mereka, “Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan serta diluruskan,” kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap muslim untuk menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat.
Dalam melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar mereka berpegang pada Al-Hadis yang berbunyi:
Artinya: “Siapa di antaranya yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tanganmu.”
Oleh karena itulah telah tercatat dalam sejarah bahwa kaum Mu’tazilah pernah membunuh ulama-ulama Islam, di antaranya ulama Islam yang terkenal Syekh Buwaithi seorang ulama pengganti Imam Syafi’i dalam suatu peristiwa Quran Makhluk.
Di sini terdapat keganjilan-keganjilan dari orang Mu’tazilah sebab amar ma’ruf atau menyuruh kebaikan itu dimaksudkan hanya ma’ruf (kebaikan) bagi kaum Mu’tazilah, yaitu hanya pendapat mereka bukan ma’ruf (kebaikan) yang sesuai dengnan Quran sebagaimnana orang banyak berpegang kepada Quran yang tercantum dalam firman Allah:
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”
Aliran Mu’tazilah berpusat di dua tempat, yaitu di Basrah dan Baghdad. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran Mu’tazilah terpecahbelah menjadi 20 aliran; namun semuanya masih berprinsip dari lima ajaran tersebut.[3]


[1]  Muhammad Ahmad. 1997. Tuhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. Hlm. 166
[3]  Ibid. Hlm. 166-169

Ibadah-Fiqh

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kata lelah menghadapi aneka masalah, seseorang yang awam bertanya, "sesungguhnya apakah tujuan kita dihidupkan?" Orang-orang yang menderita penyakit parah berkepanjangan juga melontarkan pertanyaan serupa. Namun pertanyaan tersebut di luar dugaan beberapa kali terlontar pula dari orang-orang yang kaya-raya. Padahal mereka punya rumah mewah, beberapa mobil mahal, uangnya melimpah, dan hampir setiap hari berfoya-foya. Tetapi ternyata rutinitas yang menggembirakan itu tidak selamanya membuatnya bahagia. Malahan menjadikan mereka bosan. Pada batas kesadarannya, mereka pun mengajukan pertanyaan yang sama. "Sebenarnya apakah tujuan hidup kita?" Hanya orang-orang yang beriman yang memahami bahwa tujuan hidupnya adalah untuk beribadah.
Sebagaimana firman Allah:
Artinya:  Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat.51:56)

Artinya: Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan dia (yang patut disembah)? (QS. Maryam.19:65)

            Jelaslah dalam keadaan bagaimana pun, orang-orang beriman menyadari tujuan hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Jika miskin ia akan berusaha sekuat tenaga mencari nafkah, karena bekerja itu terhitung ibadah. Apabila kaya-raya, ia juga bisa memanfaatkan harta-bendanya untuk beribadah kepada-Nya. Yakni dengan membantu meringankan beban fakir miskin, serta menyantuni dan menyekolahkan anak-anak yatim.[1]
            Oleh sebab itu, alangkah baiknya kita mengetahui dulu apa itu ibadah, hakikat ibadah, macam-macam ibadah, dan hikmah dalam ibadah itu sendiri, yang akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan makalah ini.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ibadah
Secara etimologi ( bahasa),
Firman Allah:
Artinya:  Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat.51:56)

Kata Ibadah berasal dari bahasa Arab: ‘ibaada, ‘abada, ya’budu, yang artinya doa, mengabdi, tunduk, atau patuh (kepada Allah).
Secara Terminologis (istilah), pengertian Ibadah menurut Hasbi Al-Shiddieqy dalam Kuliah Ibadah-nya (1994:2-4), mengungkapkan:
Menurut ulama Tauhid, iabadah adalah:
“Pengesaan Allah dan pengagungan-Nya dengan sepenuh hati dan dengan segala kerendahan dan kepatuhan diri kepada-Nya.”
Menurut ulama Akhlak, ibadah adalah:
“Pengamalan segala kepatuhan kepada Allah secara badaniah, dangan menegakkan syariah-Nya.”
Menurut ulama Tasawuf, ibadah adalah:
“Perbuatan mukalaf yang berlawanan dengan hawa-nafsunya untuk mengagungkan Tuhannya.”
Sedangkan menurut ulama Fikih, ibadah adalah:
“Segala kepatuhan yang dilakukan untuk mencapai rida Allah, dengan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.”
Menurut jumhur ulama:
“Ibadah adalah nama yang mencakup segala yang disukai Allah dan yang diridai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun diam-diam.”
Agar ibadah kita itu mendapatkan ridho dari Allah SWT, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi.
  1. Sah. Maksudnya perbuatan ibadah (misalnya sholat atau puasa atau haji yang kita kerjakan) tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
  2.  Ikhlas, yakni mengerjakannya semata-mata karena Allah. Bukan karena mengharap dipuji oleh sesama manusia. "Dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati. (QS. Al-Baqarah. 2:139).  Katakanlah (Hai Muhammad), "Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri." (QS.Az-Zumar.39:11-12)
B.     Dasar Hukum
Allah SWT. berfirman:
Artinya:  Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat.51:56)


Demikian pula firman Allah berikut:

Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 2:21)
C.    Hakikat Ibadah
Berdasarkan (QS. Al-Dzariyat. 51:56) di atas dan pengertian para ulama, baik dalam arti khusus maupun dalam arti luas, seorang muslim maupun non-muslim, bahkan bagi manusia pada umumnya, ibadah merupakan konsekuensi hidupnya sebagai makhluk ciptaan Allah. Manusia ditakdirkan sebgai makhluk yang mempunyai kelebihan akal dari makhluk lainnya (QS.Al-Tin.94:3). Kenyataannya, manusia tidak selalu menggunakan akal sehatnya, bahkan ia lebih sering dikuasai nafsunya, sehinnga ia sering terjerumus ke dalam apa yang disebut dehumanisasi, yaitu proses yang menyebabkan kerusakan, hilang, atau merosotnya nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah perlunya agama bagi manusia.
Sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan akal, manusia memiliki berbagai naluri dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya. Di samping itu, ia juga memiliki: (1) naluri ego, (2) naluri intelek, (3) naluri etik-estetik, (4) naluri sosial, dan (5) naluri agama.[2] Dengan naluri-naluri tersebut, manusia menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari alam yang disiptakan Tuhan, sehingga hal itu mendorongnya untuk hidup berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada-Nya.
Dengan agama, hidup manusia menjadi bermakna. Makna agama terletak pada fungsinya sebagai control moral manusia. Melaui ajaran-ajarannya, agama menyuruh manusia agar selalu dalam keadaan sadar dan menguasai diri. Keadaan tersebutlah yang merupakan hakikat agama, atau hakikat ibadah. Malalui ibadah (pengabdian) kepada Allah, hidup manusia terkontrol. Di mana pun dan dalam keadaan apa pun, manusia dituntut untuk selalu dalam keadaan sadar sebagai hamba Allah dan mampu mengusai dirinya, sehingga segala sikap, ucapan, dan tindakannya selalu dalam kontrol ilahi.

D.    Macam-macam Ibadah
1.      Klasifikasi Ibadah
Berdasarkan firman Allah dalam (QS. Al-Dzariyat.51:56) ibadah dapat diklasifikasikan kepada (1) ibadah “mahdhah” murni dan (2) ibadah “ghairu mahdhah” tidak murni. Ibadah mahdhah adalah ibadah dalam arti khusus, yaitu segala pengabdian manusia (hamba) kepada Allah secara langsung sesuai dengan ketentuan (baca: syarat dan rukun) yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, seperti: shalat dan puasa. Ibadah mahdhah juga disebut muamalah ma’a al-klaliq (hubungan dalam arti hubungan hamba dengan Allah) atau ibadah ghairu ma’qulati al-ma’na (ibadah yang tidak dapat dipahami maknanya).
2.      Ruang Lingkup Ibadah
Ibadah dalam arti khusus (ibadah mahdhah) adalah termasuk bidang kajian fiqh al-nabawi, yang meliputi: (1) taharah; (2) shalat, termasuk doa, zikir, dan tilawah Al-Quran; (3) puasa; (4) zakat; (5) haji; (6) pengurusan jenazah; (7) penyembelihan hewan; (8) sumpah dan nazar; (9) makanan dan minuman; (10) jihad. Sedangkan ibadah dalam arti umum (muamalah) yang termasuk bidang kajian fiqh ijtihadi adalah ibadah dalam arti:
(a)    Muamalah (habl min al-nas);
(b)   Sistem sosial kemasyarakatan atau sebuah istilah yang mencakup segala hal yang disukai oleh Allah SWT.:
“Nama yang mencakup segala hal yang disukai Allah dan yang diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tidak tampak.”
Dengan kata lain, muamalah atau ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah dalam bentuk sikap, ucap, dan tindakan seseorang yang dilakukan atas dasar: (1) niat yang ikhlas, (2) dalam rangka mencapai rida Allah, (3) dalam bentuk amal shaleh, yang pelaksanaannya diserahkan kepada pelakunya sesuai dengan situasi dan kondisi.
Muamalah adalah segala hal yang menyangkut segala urusan duniawi dengan segala bentuk kemaslahatannya, seperti: sistem keluarga (perkawinan dan warisan), sistem perekonomian, sistem hukum (perdata dan pidana), dan sistem politik pemerintahan.[3]

E.     Hikmah Ibadah
1.      Tidak syirik, seorang hamba yang sudah berketapan hati untuk senantiasa beribadah menyembah kepada-Nya, maka ia harus meninggalkan segala bentuk syirik. Ia telah mengetahui segala sifat-sifat yang dimiliki-Nya adalah lebih besar dari segala yang ada, sehingga tidak ada wujud lain yang dapat mengungguli Nya dan dapat dijadikan tempat bernaung.

2.      Memiliki ketakwaan,
Sebagaimana firman Allah:
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, (QS.al-Baqarah. 2:21)

Ada dua hal yang melandasi manusia menjadi bertakwa, yaitu karena cinta atau karena takut. Ketakwaan yang dilandasi cinta timbul karena ibadah yang dilakukan manusia setelah merasakan kemurahan dan keindahan Allah SWT. Setelah manusia melihat kemurahan dan keindahan Nya munculah dorongan untuk beribadah kepada Nya. Sedangkan ketakwaan yang dilandasi rasa takut timbul karena manusia menjalankan ibadah dianggap sebagai suatu kewajiban bukan sebagai kebutuhan. Ketika manusia menjalankan ibadah sebagai suatu kewajiban adakalanya muncul ketidak ikhlasan, terpaksa dan ketakutan akan balasan dari pelanggaran karena tidak menjalankan kewajiban.

3.      Terhindar dari kemaksiatan,
Sebagaimana firmna Allah:
Artinya:...Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.An-‘Ankabuut. 29:45)
Ibadah memiliki daya pensucian yang kuat sehingga dapat menjadi tameng dari pengaruh kemaksiatan, tetapi keadaan ini hanya bisa dikuasai jika ibadah yang dilakukan berkualitas. Ibadah ibarat sebuah baju yang harus selalu dipakai dimanapun manusia berada.
4.      Berjiwa sosial, ibadah menjadikan seorang hamba menjadi lebih peka dengan keadaan lingkungan disekitarnya, karena dia mendapat pengalaman langsung dari ibadah yang dikerjakannya. Sebagaimana ketika melakukan ibadah puasa, ia merasakan rasanya lapar yang biasa dirasakan orang-orang yang kekurangan. Sehingga mendorong hamba tersebut lebih memperhatikan orang-orang dalam kondisi ini.
5.      Tidak kikir,
      Sebagaimna firman Allah:
Artinya: dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya. (QS.Al-Baqarah. 2:177)
      Harta yang dimiliki manusia pada dasarnya bukan miliknya tetapi milik Allah SWT yang seharusnya diperuntukan untuk kemaslahatan umat. Tetapi karena kecintaan manusia yang begita besar terhadap keduniawian menjadikan dia lupa dan kikir akan hartanya. Berbeda dengan hamba yang mencintai Allah SWT, senantiasa dawam menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, ia menyadari bahwa miliknya adalah bukan haknya tetapi ia hanya memanfaatkan untuk keperluanya semata-mata sebagai bekal di akhirat yang diwujudkan dalam bentuk pengorbanan harta untuk keperluan umat.
6.      Terkabul doa-doa nya,
Sebagaimana firman Allah:
Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS.Al-Baqarah. 2:186)
        Hamba yang didengar dan dikabulkan doa-doanya hanyalah mereka yang dekat denga-Nya melalui ibadah untuk selalu menyeru kepada-Nya.
7.      Memiliki kejujuran,
Sebagaimana firman Allah:
Artinya: Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS.An-Nisaa.4:103)
      Ibadah berarti berdzikir (ingat) kepada Allah SWT, hamba yang menjalankan ibadah berarti ia selalu ingat Allah SWT dan merasa bahwa Allah SWT selalu mengawasinya sehingga tidak ada kesempatan untuk berbohong.
8.      Sehat jasmani dan rohani, hamba yang beribadah menjadikan gerakan shalat sebagai senamnya, puasa menjadi sarana diet yang sehat, membaca Al Qur an sebagai sarana terapi kesehatan mata dan jiwa. Insya Allah hamba yang tekun dalam ibadah dikaruniakan kesehatan.[4]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Secara etimologi (bahasa), kata Ibadah berasal dari bahasa Arab: ‘ibaada, ‘abada, ya’budu, yang artinya doa, mengabdi, tunduk, atau patuh (kepada Allah).
2.      Secara Terminologis (istilah), pengertian Ibadah menurut Hasbi Al-Shiddieqy dalam Kuliah Ibadah-nya (1994:2-4), mengungkapkan:
a.       Menurut ulama Tauhid, iabadah adalah: “Pengesaan Allah dan pengagungan-Nya dengan sepenuh hati dan dengan segala kerendahan dan kepatuhan diri kepada-Nya.”
b.      Menurut ulama Akhlak, ibadah adalah: “Pengamalan segala kepatuhan kepada Allah secara badaniah, dangan menegakkan syariah-Nya.”
c.       Menurut ulama Tasawuf, ibadah adalah: “Perbuatan mukalaf yang berlawanan dengan hawa-nafsunya untuk mengagungkan Tuhannya.”
d.      Sedangkan menurut ulama Fikih, ibadah adalah: “Segala kepatuhan yang dilakukan untuk mencapai rida Allah, dengan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.”
e.       Menurut jumhur ulama:“Ibadah adalah nama yang mencakup segala yang disukai Allah dan yang diridai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun diam-diam.”
3.      Agar ibadah kita itu mendapatkan ridho dari Allah SWT, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi adalah sah dan ikhlas.
4.       Hikmah ibadah


a.       Tidak syirik
b.      Memiliki ketakwaan
c.       Terhindar dari kemaksiatan
d.      Berjiwa sosial
e.       Tidak kikir
f.       Terkabul doa-doa nya
g.      Memiliki kejujuran
h.      Sehat jasmani dan rohani



DAFTAR PUSTAKA
Shaleh, Hasan. Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: ISTN. 2000.
Shaleh, Hasan. dkk. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. 2008.


[2] Hasan Saleh, Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: ISTN. 2000. hlm. 39.
[3] Hasan Shaleh, dkk. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. 2008. hlm. 10-11.
[4] http://islamireligius.blogspot.com/2009/08/hikmah-ibadah.html