BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Sebagaimana yang kita ketahui
banyak jalan untuk mencapai ma’rifah, diantaranya adalah Takhalli, Tahalli dan
Tajalli sehingga seorang sufi mahabbah (kecintaan dengan Allah), yang
tujuannya untuk mencapai ma’rifatullah.
Pada makalah ini kami akan
membahas tentang ma’rifah yang menjadi puncaknya ilmu tasawuf pada golongan
sufi. Banyak kaum sufi ingin menggapainya, bahkan kaum awam juga mempunyai
keinginan mencapai ma’rifah.
Jika seseorang sudah mencapai
ma’rifah, maka orang tersebut tidak ada batas untuk mengenal sang Kholiknya.
B. Perumusan
Masalah
1.
Pengertian ma’rifah, tujuan
ma’rifah, dan kedudukan ma’rifah
2.
Jalan untuk ma’rifah
3.
Faham Ma’rifah
4.
Tokoh yang mengembangkan
ma’rifah
5.
Ma’rifah dalam pandangan
Al-Qur’an dan Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ma’rifah, Tujuan Ma’rifah, dan Kedudukan Ma’rifah
Secara
etimologi kata ma’rifah
berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan atau
pengalaman.[1]
Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu
yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada
umumnya.[2]
Sedangkan menurut ulama
Tasawuf, antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengatakan “Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam
mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala
kesempurnaan-Nya”
b. Asy-Syeh
Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengatakan “Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran
Allah (pada sufi)… dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur
Illahi….”
c. Imam Al-Qusyairy mengatakan “Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati,
sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran).
Barangsiapa yang meningkatkan ma’rifatnya, maka meningkat pula
ketenangan (hatinya)”.[3]
Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang
bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui
rahasiannya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup
mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud
berasal dari yang satu.[4]
Dalam
salah satu tingkatan tasawuf, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai
Tuhan melalui hati sanubari. Pengertian itu demikian lengkap dan jelas sehingga
jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan.[5]
Harun Nasution mengatakan bahwa Ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam
bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.[6]
Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah
mengetahu rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
Sebagai halnya mahabbah, ma’rifah ini terkadang dipandang sebagai maqam dan
terkadang dianggap sebagai hal. Dalam literature Barat, Ma’rifah dikenal dengan
istilah gnosis. Dalam pandangan Al-Junaid (w. 381 H), Ma’rifah dianggap
sebagai hal, sedangkan dalam Risalah Al-Qusyairiyah, Ma’rifah dianggap sebagai
maqam. Sementara itu Al-Ghazali dalam kitabnya Ilya’ Ulum Al-Din memandang
Ma’rifah datang sebelum mahabbah. Adapula yang mengatakan bahwa Ma’rifah dan
mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Dengan kata lain
mahabbah dan Ma’rifah menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara seorang sufi dengan Tuhan.[7]
B. Jalan Untuk Ma’rifah
Jalan yang dapat digunakan
untuk ma’rifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), namun artinya
tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain dari alat
untuk merasa, qalb bisa juga untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal ialah
bahwa akal tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya tentang
Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika
dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.[8]
Proses sampainya qalb pada
cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli.
Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan manusia
melalui taubat. Tahalli yaitu menghiasi
diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah
terbukanya hijab, sehingga tampak tuhan cahaya tuhan. Hal ini sejalan dengan
firman Allah SWT:
Artinya: Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya
gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. al-A’raf.7.143).
Mengenai pengertian tajalli ini lebih lanjut
dijelaskan dalam Kitab Isan al-Kamil sebagai berikut:
Tajalli Allah SWT. dalam perbuatannya, ialah ibarat
daripada penglihatan di mana seseorang hamba Allah melihat pada-Nya berlaku
kudrat Allah pada sesuatu. Ketika itu, ia melihat Tuhan, maka tiadalah
perbuatan seorang hamba, gerak dan diam serba isbat adalah bagi Allah semata-mata.[9]
Tajalli dapat diartikan:
Siapa-siapa
baginya Tajalli Allah SWT. dari segi namanya yang disebut, maka terbukalah
baginya daripada tampaknya nur ilahi dalam keadaan biasa, maksudnya agar ia
mendapatkan jalan kepada ma’rifah. Bahwa sesungguhnya Allah ialah pada ketika
itu tajjalli Allah SWT. baginya, karena sesungguhnya Allah adalah tampak.
Ketika itu maka bertempatlah hamba pada tempat yang batin karena fananya
sifat-sifat kebaharuannya ketika tampaknya wujud al-haqq al-yaqin.[10]
Kemungkinan
manusia mencapai tajalli atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan itu dapat pula
dilihat dari isyarat ayat berikut:
Artinya: Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki-Nya. (QS. An-Nur, ayat:
35)
Dengan
limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada
pada Tuhan. Dengan cara demikian ia dapat mengetahui hal-hal yang tidak
diketahui oleh manusia biasa. Orang yang sudah mencapai ma’rifah ia memperoleh
hubungan langsung dengan sumber ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang telah
dilimpahi cahaya, dia dapat diibaratkan seperti orang yang memiliki antena
parabola yang mendapatkan langsung pengetahuan dari Tuhan. Allah berfirman:
Artinya: Dan di atas tiap-tiap orang yang
berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui (Allah). (QS. Yusuf, 12:76).
C. Faham
Ma’rifah
Ada segolongan Sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma’rifah. Mereka
mengemukakan paham-pahamnya antara lain:
1.
Kalau mata yang
ada di dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kapalanya tertutup, dan
ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah.
2.
Ma’rifah adalah
cermin. Apabila seorang yang arif melihat ke arah cermin maka apa yang
dilihatnya hanyalah Allah.
3.
Orang arif baik
di waktu tidur dan bangun yang dilihat hanyalah Allah.
4.
Seandainya
ma’rifah itu materi, maka semua orang yang melihat akan mati karena tidak tahan
melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap di
samping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.[11]
Menurut “Zunnun Al-Misrilah” (bapak paham ma’rifah) bahwa pengetahuan
tentang Tuhan ada tiga macam:
1.
Pengetahuan
awam: memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat.
2.
Pengetahuan
ulama: memberi penjelasan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
3.
Pengetahuan
sufi: memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.
Bahwa pengetahuan awam dan ulama di atas belum dapat
memberikan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Sehingga pengetahuan tersebut baru
disebut “ilmu” belum dapat dikatakan sebagai “ma’rifah”. Akan tetapi
pengetahuan yang disebut ma’rifah adalah pengetahuan sufi. Ia dapat mengetahui
hakikat Tuhan. Sehingga ma’rifah hanya dapat diperoleh pada kaum sufi yang
sanggup melihat Tuhan melalui hati sanubarinya.
Untuk memperoleh
“ma’rifah” tentang Tuhan, Zunnun.Al-Misrilah mengatakan: “aku mengetahui Tuhan
dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.”
Pernyataan di
atas menurut analisa Dr. Harun Nasution bahwa: “ini menggambarkan bahwa ma’rifah
tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian dari Tuhan. Ma’rifah
bukanlah hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat
Tuhan. Ma’rifah adalah rahmat Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.
D. Tokoh yang
Mengembangkan Ma’rifah
Dalam
literarue tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini,
yaitu Al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri. Al-Ghazali nama lengkapnya Abu Hamid
Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 1059M di Ghazaleh suatu kota kecil
terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah belajar pada Imam al-Haramain
al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyafur. Setelah mempelajari
ilmu agama, ia mempelajari teologi, ilmu pengetahuan alam, filsafat, dan
lain-lain, akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah
bertahun-yahun mengembara sebagai sufi ia kembali ke Tus di tahun 1105M dan
meninggal di sana pada tahun 1111M.[12]
Adapun Zun
al-Misri berasal dari Naubah, suatu negeri yang terletak Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak
banyak diketahui, yang diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu 860M. Menurut
Hamka, beliaulah puncaknya kaum Sufi dalam abad ketiga hijrah. Beliaulah yang
banyak sekali menambahkan jalan buat menuju Tuhan. Yaitu mencintai Tuhan,
membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut
terpaling dari jalan yang benar.[13]
E. Ma’rifah
dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadis
Di dalam Al-Qur’an, di jumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang
dan sebagian besar dihubungakan dengan Tuhan.[14]
Misalnya ayat yang berbunyi:
Artinya: (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk)
oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun. (QS. Al-Nur, 24:40)
Artinya:
Maka apakah orang-orang yang dibukakan
Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari
Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? (QS. Al-Zumar, 39:22)
Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut
ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dengan
demikian ajaran ma’rifah sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak
bertentangan dengan al-Qur’an.
Selanjutnya di dalam hadis kita jumpai sabda Rasulullah yang berbunyi:
“Aku (Allah) adalah pembendaharaan yang tersembunyi (ghaib), Aku ingin
memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku
memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku. (Hadis
Qudsi).
Hadis tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh
manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan
bahwa ma’rifah dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.[15]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Secara
etimologi kata ma’rifah
berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan atau
pengalaman. Secara bahasa ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada
hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui
rahasiannya.
2.
Jalan menuju ma’rifah yaitu: qalb, ruh, dan sir.
3.
Ma’rifah tidak
diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian dari Tuhan. Ma’rifah bukanlah
hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan.
Ma’rifah adalah rahmat Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.
Saran
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.
Mohon maaf apabila ada kesalah. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan.
Daftar Pustaka
Hamka.1984. Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniannya, cet.XI. Jakarta: Pustaka Panjimas.
IAIN Sumatera Utara. 1983/1984. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara.
Mustofa, H.A. 1997. Akhlak Tasawuf.
Bandung: Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1983.
Falsafah dan Mistisisme dalam Islam,
cet. III. Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abudin. 2012. Akhlak Tasawuf, cet.XI. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Zahri, Mustafa. 1995. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, cet.I. Surabaya: Bina Ilmu.
[1] IAIN
Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf,
(Sumatera Utara,1983/1984), hlm.122.
[2] Jamil
Saliba, Mu’jam al-Falsafi, Jilid II,
(Beirut: Dar al-Kitab, 1979), hlm .72.
[3] Mustofa,
H.A. Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka
Setia, 1997), hlm. 251.
[4] Ibid., hlm.72.
[5] Al-Kalabazi,
al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf,
(Mesir: Dar al-Qahirah, t.t.), hlm. 158-159.
[6] Harun
Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet.III, hlm.75.
[7] Ibid., hlm.75.
[8] Ibid., hlm.77.
[9] Mustafa
Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1995), cet.I, hlm.246.
[10] Ibid., hlm.247.
[11] Ibid., hlm.75-76.
[12] Harun
Nasution, op. cit., hlm.43.
[13] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet. XI, hlm. 100.
[14] Muhammad
Fuad Abd al-Baqo. Al-Mu’jam al-Mufahras
li Afadz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), hlm. 725-726.
[15] Abudin
Nata, Akhlak Tasawuf. (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2012) cet. XI., hlm. 230.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar