Rabu, 01 Mei 2013

Ma'rifah

BAB I
PENDAHULUAN

       A.       Latar belakang
Sebagaimana yang kita ketahui banyak jalan untuk mencapai ma’rifah, diantaranya adalah Takhalli, Tahalli dan Tajalli sehingga seorang sufi mahabbah (kecintaan dengan Allah),  yang tujuannya untuk mencapai ma’rifatullah.
Pada makalah ini kami akan membahas tentang ma’rifah yang menjadi puncaknya ilmu tasawuf pada golongan sufi. Banyak kaum sufi ingin menggapainya, bahkan kaum awam juga mempunyai keinginan mencapai ma’rifah.
Jika seseorang sudah mencapai ma’rifah, maka orang tersebut tidak ada batas untuk mengenal sang Kholiknya.

       B.       Perumusan Masalah
1.      Pengertian ma’rifah, tujuan ma’rifah, dan kedudukan ma’rifah
2.      Jalan untuk ma’rifah
3.      Faham Ma’rifah
4.      Tokoh yang mengembangkan ma’rifah
5.      Ma’rifah dalam pandangan Al-Qur’an dan Hadits



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ma’rifah, Tujuan Ma’rifah, dan Kedudukan Ma’rifah
Secara etimologi kata ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman.[1] Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.[2]
Sedangkan menurut ulama Tasawuf, antara lain:
a.        Dr. Mustafa Zahri mengatakan “Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaan-Nya”
b.       Asy-Syeh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengatakan “Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi)… dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Illahi….”
c.        Imam Al-Qusyairy mengatakan “Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkatkan ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)”.[3]
Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasiannya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.[4]
Dalam salah satu tingkatan tasawuf, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengertian itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan.[5] Harun Nasution mengatakan bahwa Ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.[6]
Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mengetahu rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
Sebagai halnya mahabbah, ma’rifah ini terkadang dipandang sebagai maqam dan terkadang dianggap sebagai hal. Dalam literature Barat, Ma’rifah dikenal dengan istilah gnosis. Dalam pandangan Al-Junaid (w. 381 H), Ma’rifah dianggap sebagai hal, sedangkan dalam Risalah Al-Qusyairiyah, Ma’rifah dianggap sebagai maqam. Sementara itu Al-Ghazali dalam kitabnya Ilya’ Ulum Al-Din memandang Ma’rifah datang sebelum mahabbah. Adapula yang mengatakan bahwa Ma’rifah dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Dengan kata lain mahabbah dan Ma’rifah menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara seorang sufi dengan Tuhan.[7]
B.     Jalan Untuk Ma’rifah
Jalan yang dapat digunakan untuk ma’rifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa, qalb bisa juga untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.[8]
Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan manusia melalui taubat.  Tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak tuhan cahaya tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya: Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. al-A’raf.7.143).

Mengenai pengertian tajalli ini lebih lanjut dijelaskan dalam Kitab Isan al-Kamil sebagai berikut:
Tajalli Allah SWT. dalam perbuatannya, ialah ibarat daripada penglihatan di mana seseorang hamba Allah melihat pada-Nya berlaku kudrat Allah pada sesuatu. Ketika itu, ia melihat Tuhan, maka tiadalah perbuatan seorang hamba, gerak dan diam serba isbat adalah bagi Allah semata-mata.[9]
Tajalli dapat diartikan:
Siapa-siapa baginya Tajalli Allah SWT. dari segi namanya yang disebut, maka terbukalah baginya daripada tampaknya nur ilahi dalam keadaan biasa, maksudnya agar ia mendapatkan jalan kepada ma’rifah. Bahwa sesungguhnya Allah ialah pada ketika itu tajjalli Allah SWT. baginya, karena sesungguhnya Allah adalah tampak. Ketika itu maka bertempatlah hamba pada tempat yang batin karena fananya sifat-sifat kebaharuannya ketika tampaknya wujud al-haqq al-yaqin.[10]
Kemungkinan manusia mencapai tajalli atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan itu dapat pula dilihat dari isyarat ayat berikut:
Artinya: Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki-Nya. (QS. An-Nur, ayat: 35)

Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dengan cara demikian ia dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang yang sudah mencapai ma’rifah ia memperoleh hubungan langsung dengan sumber ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, dia dapat diibaratkan seperti orang yang memiliki antena parabola yang mendapatkan langsung pengetahuan dari Tuhan. Allah berfirman:
Artinya: Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui (Allah). (QS. Yusuf, 12:76).

C.    Faham Ma’rifah
Ada segolongan Sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma’rifah. Mereka mengemukakan paham-pahamnya antara lain:
1.      Kalau mata yang ada di dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kapalanya tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah.
2.      Ma’rifah adalah cermin. Apabila seorang yang arif melihat ke arah cermin maka apa yang dilihatnya hanyalah Allah.
3.      Orang arif baik di waktu tidur dan bangun yang dilihat hanyalah Allah.
4.      Seandainya ma’rifah itu materi, maka semua orang yang melihat akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.[11]

Menurut “Zunnun Al-Misrilah” (bapak paham ma’rifah) bahwa pengetahuan tentang Tuhan ada tiga macam:
1.      Pengetahuan awam: memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat.
2.      Pengetahuan ulama: memberi penjelasan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
3.      Pengetahuan sufi: memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.
Bahwa pengetahuan awam dan ulama di atas belum dapat memberikan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Sehingga pengetahuan tersebut baru disebut “ilmu” belum dapat dikatakan sebagai “ma’rifah”. Akan tetapi pengetahuan yang disebut ma’rifah adalah pengetahuan sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan. Sehingga ma’rifah hanya dapat diperoleh pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan melalui hati sanubarinya.
Untuk memperoleh “ma’rifah” tentang Tuhan, Zunnun.Al-Misrilah mengatakan: “aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.”
Pernyataan di atas menurut analisa Dr. Harun Nasution bahwa: “ini menggambarkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian dari Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifah adalah rahmat Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.


D.    Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifah
Dalam literarue tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini, yaitu Al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri. Al-Ghazali nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 1059M di Ghazaleh suatu kota kecil terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah belajar pada Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama, ia mempelajari teologi, ilmu pengetahuan alam, filsafat, dan lain-lain, akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun-yahun mengembara sebagai sufi ia kembali ke Tus di tahun 1105M dan meninggal di sana pada tahun 1111M.[12]
Adapun Zun al-Misri berasal dari Naubah, suatu negeri yang terletak  Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, yang diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu 860M. Menurut Hamka, beliaulah puncaknya kaum Sufi dalam abad ketiga hijrah. Beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan buat menuju Tuhan. Yaitu mencintai Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut terpaling dari jalan yang benar.[13]

E.     Ma’rifah dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadis
Di dalam Al-Qur’an, di jumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang dan sebagian besar dihubungakan dengan Tuhan.[14] Misalnya ayat yang berbunyi:
Artinya:  (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun. (QS. Al-Nur, 24:40)
Artinya:  Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? (QS. Al-Zumar, 39:22)

Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dengan demikian ajaran ma’rifah sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
Selanjutnya di dalam hadis kita jumpai sabda Rasulullah yang berbunyi:
“Aku (Allah) adalah pembendaharaan yang tersembunyi (ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku. (Hadis Qudsi).
Hadis tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifah dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.[15]




 BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Secara etimologi kata ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Secara bahasa ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasiannya.
2.      Jalan menuju ma’rifah yaitu: qalb, ruh, dan sir.
3.      Ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian dari Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifah adalah rahmat Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.

Saran
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Mohon maaf apabila ada kesalah. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan.



Daftar Pustaka

            Hamka.1984.  Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, cet.XI. Jakarta: Pustaka Panjimas.
IAIN Sumatera Utara. 1983/1984. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara.
Mustofa, H.A. 1997. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1983.  Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, cet. III. Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abudin. 2012. Akhlak Tasawuf, cet.XI. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Zahri, Mustafa. 1995. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, cet.I. Surabaya: Bina Ilmu.



[1] IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara,1983/1984), hlm.122.
[2] Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi, Jilid II, (Beirut: Dar al-Kitab, 1979), hlm .72.
[3] Mustofa, H.A. Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 251.
[4] Ibid., hlm.72.
[5] Al-Kalabazi, al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, (Mesir: Dar al-Qahirah, t.t.), hlm. 158-159.
[6] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet.III, hlm.75.
[7] Ibid., hlm.75.
[8] Ibid., hlm.77.
[9] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), cet.I, hlm.246.
[10] Ibid., hlm.247.
[11] Ibid., hlm.75-76.
[12] Harun Nasution, op. cit., hlm.43.
[13] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet. XI, hlm. 100.
[14] Muhammad Fuad Abd al-Baqo. Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), hlm. 725-726.
[15] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf. (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012) cet. XI., hlm. 230.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar