BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai salah
satu sumber hukum Islam, hadis memiliki kedudukan yang penting bagi umat Islam.
Malahan, hadis menjadi satu di antara dua panduan beragama umat Islam agar
selamat dan tidak sesat dalam kehidupan di dunia. Begitu besar perhatian ulama
dan umat Islam, berbagai kajian dan studi muncul untuk
memahami hadis.
Dalam ajaran Islam, hadis atau
sunnah menempati posisi yang sangat penting, yaitu sebagai
sumber ajaran kedua setelah Al-Quran. Jika didiskusi lebih spesifik lagi,
dari sudut pandang periwayatan, setidaknya ada dua cara periwayatan
hadis. Pertama, periwayatan dengan lafaz , yaitu hadis
diriwayatkan oleh perawinya sesuai dengan redaksi atau lafal hadis
yang diterimanya dari orang yang menyampaikan hadis tersebut kepadanya, tanpa
ada perubahan, pengurangan, penambahan, atau perbedaan. Kedua,
periwayatan dengan makna, yaitu periwayatan hadis dengan redaksi
yang berbeda dari redaksi hadis yang diterima oleh para perawi, namun isi
maksud dan maknanya sama.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana pengertian periwayatan hadis?
- Bagaimana pengertian periwayatan hadis dengan lafaz dan makna?
- Bagaimana syarat-syarat periwayatan hadis?
C. Tujuan Pembahasan
- Ingin mengetahui pengertian periwayatan hadits.
- Ingin mengetahui pengertian periwayatan hadis dengan lafaz dan makna.
- Ingin mengetahui bagaimana syarat-syarat periwayatan hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Periwayatan Hadis
Terhimpunnya hadis dalam kitab-kitab
hadis semisal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim telah melalui
kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayat. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan menceritakan hadis atau periwayatan.1 Sesuatu
yang diriwayatkan secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.2
Kata riwayat adalah masdar
dari kata kerja rawa yang berarti naql
dan zikir. Artinya adalah penukilan dan penyebutan.3 Dalam istilah
ilmu hadis, riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis.
Perawi hadis
adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian menyampaikan atau
mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada dua fungsi
perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang sahabat yang menerima hadis
dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak menyampaikannya kepada yang lain, maka
ia tidak disebut perawi. Adapun proses penerimaan dan penyampaian hadis kepada
yang lain disebut periwayatan.
Seorang perawi hadis dituntut
menyampaikan hadis yang diterimanya dari rasul atau sahabat kepada lain seperti
apa yang didengarnya tanpa disertai komentar. Perawi bukan pensyarah atau
penjelas hadis yang disampaikan. Apabila ia
memberi tambahan penjelasan atau komentar, maka tidak disebut materi hadis. Oleh sebab itu dia bukan perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya.4
Secara istilah riwayah adalah kegiatan
penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada para
periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Beberapa point penting yang harus
ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai
berikut:
- Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan rawi (periwayat)
- Apa yang diriwayatkan
- Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
- Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan
- Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan
hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak
berarti hadis-hadis rasul tidak diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu
hadis-hadis itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup
masyarakat sehari-harinya seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah.
Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadis
tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam
meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. Pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang
disampaikan Rasul saw.), dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
B.
Periwayatan Hadis secara Lafzhi
Periwayatan lafzhi adalah periwayatan
hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul saw,
ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul
saw.
Kebanyakan dari para sahabat menempuh
periwayatan hadis melalui cara ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis
sesuai dengan redaksi dari Rasulullah saw, bukan menurut redaksi mereka. Bahkan
menurut ‘Ajjaj Al-Khathib, sebenarnya, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan
itu dengan lafzhi bukan dengan maknawi.5 Sebagian dari mereka secara ketat melarang
meriwayatkan hadis dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau satu
katapun tidak boleh diganti. Begitu pula
tidak boleh mendahulukan susunan kata yang disebut rasul di belakang atau
sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin Khattab
pernah berkata:
“Barang siapa yang mendengar hadis dari Rasul
saw kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat”.6
Di antara para sahabat yang paling keras
mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia sering
kali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata)
dengan yang pernah didengarnya dari Rasul saw, seperti yang dilakukannya
terhadap Ubaid ibn Amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadis tentang
lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga.
Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan ke empat, sebagaimana
yang didengarnya dari Rasulullah saw.
Selanjutnya ulama’ ahli hadis sepakat akan keharusan
periwayatan hadis secara lafal untuk hadis-hadis berikut ini:
1.
Hadis-hadis yang berkaitan dengan
penyebutan-penyebutan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Mereka memandangnya
sebagai sebagai suatu hal yang tauqifiy dan tidak boleh diganti dengan kalimat
atau kata lain walaupun sepadan.
2.
Hadis-hadis yang mengandung
lafal-lafal yang dianggap ibadah (ta’abbudiya) misalnya hadis-hadis do’a.
3.
Hadis-hadis tentang jawami’ al-kalim,
yakni ungkapan pendek sarat makna yang mengandung nilai balaghoh yang tinggi
dan periwayatannya secara makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh kandungan
makna hadis yang dimaksud.
4.
Hadis-hadis yang berkaitan dengan
lafal-lafal ibadah, misalnya hadis tentang azan, iqamat, takbir, shalat, sighat syahadat, dan sighat akat.7
Perlu ditegaskan pula, ulama’ ahli hadis sepakat bahwa
menjaga lafal hadis, menyampaikannya sesuai dengan lafal yang diterima dan
didengarnya, tanpa merubah, mengganti huruf atau kata, adalah lebih utama
daripada periwayatannya secara makna. Hal ini karena kalam Nabi adalah
perkataan yang mengandung fashahah dan balaghah yang tidak ada bandingannya.
Dan periwayatan secara makna otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi (dari redaksi
semula dan antara periwayat yang berbeda).Bahkan redaksi hadis ini ada yang
menyebabkan perbedaan makna atau maksud hadis.8
C.
Periwayatan Hadis secara Maknawi
Di antara para sahabat lainnya ada yang
berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti
yang diwurudkan Rasul saw, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan
maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang
didengarnya dari Rasul saw, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara
utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul saw, tanpa ada perubahan
sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat
melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia
meriwayatkan hadis ada istilah-istilah tertentu yang digunakannya untuk menguatkan
penulisannya, seperti dengan kata: qala
Rasul saw hakadza (Rasul saw telah bersabda begini), atau nahwan, atau qala Rasul saw qariban min hadza.9
Abu Bakar ibn al-‘Arabi berpendapat
bahwa selain sahabat Nabi saw tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara
makna. Alasannya adalah, yang pertama,
sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al-fashahah wa al-balaghah), dan kedua, sahabat menyaksiakan langsung keadaan dan perbuatan Nabi
saw.10
Periwayatan hadis dengan maknawi akan
mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadis dengan
hadis lainnya berbeda-beda, meskipun maksud atau maknanya tetap sama. Hal ini
sangat tergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang
meriwayatkan hadis-hadis tersebut.
Karakteristik yang menonjol pada era
sahabat ini adalah, bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap
Kitab Allah. Mereka memeliharanya dengan lembaran-lembaran, mushaf, dan dalam
hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap Al-Quran ini juga diberlakukan terhadap
sunnah meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi saw untuk menuliskannya.
Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan kedua-duanya. Setelah Al-Kitab
terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan sunnah Nabi.
Ulama hadis berpendapat bahwa selain
sahabat boleh meriwayatkan hadis secara makna, namun dengan beberapa ketentuan.
Di antara ketentuan-ketentuan yang disepakati para ulama hadis adalah:
a.
Yang boleh
meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang benar-benar memiliki
pengetahuan bahasa Arab yang mendalam. Dengan demikian, periwayatan matan hadis
akan terhindar dari kekeliruan, misalnya manghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal.
b.
Periwayatan
dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa, misalnya Karena lupa susunan
secara harfiah.
c.
Yang
diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya
ta’abbudi, seperti bacaan zikir, doa,
azan, takbir, dan syahadat, dan juga bukan sabda Nabi yang dalam bentuk jawami’ al-kalim.
d.
Periwayat yang meriwayatkan
hadis secara makna, atau yang mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang
diriwayatkannya, agar menambahkan kata-kata ل قا كما
او , atau هذا نحو او , atau yang semakna dengannya, setelah menyatakan
matan hadis yang bersangkutan.
e.
Kebolehan
periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya
hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuannya, maka periwayatan
hadis harus secara lafaz.11
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka
para perawi tidak bebas dalam meriwayatkan hadis secara makna.
Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus
dipenuhi periwayatan dengan makna adalah pertama,
perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu nahwu,
sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal
dengan baik segala madlul lafal dan maksud-maksudnya; ketiga,
perawi itu harus betul-betul mengetahui hal-hal yang berbeda di antara
lafal-lafal tersebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai
kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang
benar dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan. Di samping
empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu tidak
boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis dengan
makna) terserbut.12
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
tidak boleh meriwayatkan hadis bil ma’na , tetapi boleh
meriwayatkan bil-lafzh. Imam Asy-Syafi’i menyebutkan tentang
sifat-sifat seorang perawi sebagai berikut :
- Tsiqah dalam beragama
- Terkenal kejujurannya dalam periwayatan hadisnya.
- Mengetahui dengan apa yang diriwayatkannya
- Mengetahui seluk beluk makna hadis berdasarkan lapazhnya.
- Terkenal sebagai perawi hadis bil lafzh.
- Hafal jika ia meriwayatkan hadis dari hapalannya.
- Hafal dengan tulisannya jika ia meriwayatkan hadis dari catatan (tulisannya).
Selain itu, orang yang mengetahui dengan segala makna hadis
dari segi lafaznya, ia boleh meriwayatkannya dengan maknanya saja
apabila ia tidak dapat mendatangkan lafaznya yang asli,
karena ia menerima hadis itu dengan lafaz dan maknanya. Namun
ia tidak mampu untuk menyampaikan salah satunya (lafazhnya ), maka
boleh saja ia meriwayatkan hadis itu dengan maknanya selama
dapat menghindari kekeliruan (zalal) dan kesalahan (khatha’),
Sebab tidak menyampaikan hadis dengan maknanya dinilai
menyembunyikan hukum.13
Terjadinya
periwayatan secara makna disebabkan
beberapa faktor berikut:
a.
Adanya hadis-hadis yang memang tidak
mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari
nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan
hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan
menggunakan redaksi perawi sendiri.
b. Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan
tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan menulis hadis.
c. Sifat
dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya.14
BAB III
PENUTUP
Dari Pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1. Kata riwayat
adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql dan zikir. Artinya adalah penukilan dan penyebutan. Dalam istilah ilmu hadis, riwayat adalah kegiatan
penerimaan dan penyampaian hadis.
2. Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru
dan kemudian menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan
demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan.
3. Beberapa
point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
a. Orang yang
melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan rawi (periwayat)
b. Apa yang
diriwayatkan
- Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
- Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan
- Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).
4.
Periwayatan
lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti
yang diwurudkan Rasul saw, ini hanya bias dilakukan apabila mereka hafal benar
apa yang disabdakan Rasul saw.
5. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang
matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul saw, akan tetapi
isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan
oleh Rasul saw, tanpa ada perubahan sedikitpun.
6. Ketentuan periwayatan hadis secara
makna:
a.
Yang boleh
meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang benar-benar memiliki
pengetahuan bahasa Arab yang mendalam. Dengan demikian, periwayatan matan hadis
akan terhindar dari kekeliruan, misalnya manghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal.
b.
Periwayatan
dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa, misalnya Karena lupa susunan
secara harfiah.
c.
Yang
diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya
ta’abbudi, seperti bacaan zikir, doa,
azan, takbir, dan syahadat, dan juga bukan sabda Nabi yang dalam bentuk jawami’ al-kalim.
d.
Periwayat yang
meriwayatkan hadis secara makna, atau yang mengalami keraguan akan susunan
matan hadis yang diriwayatkannya, agar menambahkan kata-kata ل قا كما او ,
atau هذا نحو او , atau yang semakna dengannya, setelah menyatakan
matan hadis yang bersangkutan.
e.
Kebolehan
periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya
hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuannya, maka periwayatan
hadis harus secara lafaz.
7.
Sifat-sifat
seorang perawi:
a.
Tsiqah
dalam beragama
b.
Terkenal
kejujurannya dalam periwayatan hadisnya.
c.
Mengetahui
dengan apa yang diriwayatkannya
d.
Mengetahui
seluk beluk makna hadis berdasarkan lapazhnya.
e.
Terkenal
sebagai perawi hadis bil lafzh.
f.
Hafal
jika ia meriwayatkan hadis dari hapalannya.
g.
Hafal
dengan tulisannya jika ia meriwayatkan hadis dari catatan (tulisannya).
SUMBER
1.
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h.551
2.
M.Syuhudi
Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta:Bulan Bintang), hlm.23.
3.
Luwis
Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah,
(Beirut:Dar al-Masyriq,1973), hlm.289.
4.
A.Rahman
Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Yokyakarta:Interpena, 2011), hlm.178.
5. Ibid.,
hlm. 85.
6.
Al-ramaharmuzi, Al-Muhaddits Al-Fashil Baina Al-Rawi wa
Al-Wa’i “(Beirut: Dar Al-Fikr, 1984), hlm. 127.
7.
Salamah
Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadits, hlm. 27.
8.
Ibid
9.
Ajjaj
Al-Khattib, op. cit., hlm. 130. Lihat juga Al-Khattib Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq Al-Rawi wa Adabi Al-Sami’,
(Kairo: Dar Al-Kutub Al-Maishriyah,t.t,) hlm.106.
10. M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm.
70.
11. Ibid., hlm.71: Bandingkan Al-Ramahirmuzi, Al-Muhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa
al-Wa’i, Ed. M. ‘Ajjaj al-Khathib (Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M), hlm.
530-531; Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadits;
h. 187-192; ‘Ajjaj al-Khathib, Al-Sunnah,
hlm. 132-135.
12. A. Hafiz Anshary AZ, Periwayatan Hadis dengan
Lafal dan Makna, dalam Khazanah Nomor 54 Oktober Desember
2000, IAIN Antasari, 2000 hlm. 95
13. Muhammad ‘Ajjaj al Khatib, Ushul al Hadis,
Dar al-Fikr, 1989. hlm. 252
14. A.Rahman Ritonga, Op Cit,
hlm.181
DAFTAR PUSTAKA
Afrinaldi
Yunas. Periwayatan Hadis secara Lafaz dan Makna, (Online), (http://afrinaldi.blogspot.com, diakses 5 Oktober 2012).
‘Ajjaj, Muhammad. 1989. Ushul al Hadis. Dar al-Fikr.
Anshary, A. Hafiz. 2000. Periwayatan Hadis dengan Lafal dan Makna.
Ismail, Syuhudi. 1988. Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Ma’luf, Luwis. 1973. Al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dar
al-Masyriq.
Munawwir,
AW. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif.
Noorhidayati,
Salamah. Diktat Ulumul Hadis.
Ritonga,
A.Rahman. Studi Ilmu-ilmu Hadis.
Yogyakarta: Interpena.
Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.
Yuslem, Nawir. 2001. Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara
Sumber Widya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar