Rabu, 01 Mei 2013

Ilmu Munasabah

BAB II
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kitab suci Al-Qur’an berisi berbagai macam petunjuk dan peraturan yang disyariatkan karena beberapa sebab dan hikmah yang bermacam-macam. Ayat-ayatnya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan. Susunan ayat-ayat dan surah-surahnya ditertibkan sesuai dengan yang terdapat dalam lauh mahfudh, sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dan antara surah yang satu dengan surah yang lain.
Karena itu, timbul cabang dari Ulumul Qur’an yang khusus membahas persesuaian-persesuaian tersebut, yaitu yang disebut Ilmu Munasabah atau Ilmu Tanaasubil Ayati Was Suwari. Ulama yang pertama kali manaruh perhatian pada Ilmu Munasabah ini menurut As-Suyuthi, adalah Syekh Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian menyusul beberapa ulama ahli tafsir seperti Abu Ja’far bin Jubair dalam kitabnya Tartib As-Suwar Al-Quran, Syekh Burhanuddin Al-Biqa’I dengan bukunya Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayyi wa As-Suwar, As-Suyuthi sendiri dalam bukunya Asrar Al-Tartib Al-Quran.[1] Di antara ulama lain yang menulis dalam bidang ini adalah Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin Al-Zubair Al-Andalusi (w. 807 H) dalam karyanya Al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar Al-Quran.

B.     Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui pengertian munasabah, cara mengetahui munasabah, pokok pembahasan munasabah, macam-macam munasabah, serta urgensi dan kegunaan munasabah


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Munasabah
Secara etimologi, munasabah semakna dengan mushakalah dan muqarabah, yang berarti serupa dan berdekatan. Secara istilah, munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al-Quran. Ibnu Arabi, sebagai mana dikutip oleh Imam As-Sayuti, mendefenisikan munasabah itu kepada ‘Keterkaitan ayat-ayat Al-Quran antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapi dan sistematis.[2]  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa munusabah adalah suatu ilmu yang membahas tenntang keterkaitan atau keserasian ayat-ayat Al-Qur’an antara satu dengan yang lain.” Istilah munasabah digunakan dalam ‘illat dalam bab qiyas, dan berarti Al-wasf Al-muqarib li Al-hukm (gambaran yang berhubungan dengan hukum).[3]
Menurut pengertian terminologi, munasabah dapat didefenisikan sebagai berikut:
Ø  Menurut Az-Zarkasyi:[4]
“Munasabah adalah suatu hal yang dapt dipahami.tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan diterima”.
Ø  Menurut Manna’ Al-Qaththan:[5]
“Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada beberapa ayat, atau antar surat (di dalam Al-Quran)”.
Ø  Menurut Ibn Al-‘Arabi:[6]
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunnyai kasatuan makna dann keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”.
Ø  Menurut Al-Biqa’i:[7]
“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat”.

Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antarayat atau antarsurat, baik kolerasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali); atau korelasi berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.[8]

B.     Cara Menentukan Munasabah
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abd As-Salam berkata: “Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi kaitan antarkalam mengisyaratkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal dengan bagian akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi pada berbagai sebab yang berbeda, keterkaitan salah satunya dengan lainnya tidak menjadi syarat. Orang yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya.[9]
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Al-Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
1.      Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2.      Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3.      Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
4.      Dalam mengambil kesimpulannya, hendaklah memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.[10]

C.    Pokok Pembahasan Munasabah
Pembahasan Ilmu Munasabah ini terkait dengan bagian-bagian Ulumul Qur’an, baik ayat-ayat ataupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain persesuaian dan persambungannya. Hubungan dan persambungan dari bagian-bagian Al-Qur’an itu bermacam-macam. Ada yang berupa hubungan antara makna umum dan khusus, atau hubunngan pertalian (talazum), seperti hubungan antara sebab dengan akibatnya, ilat dengan ma’lulnya, atau antara dua hal yang sama, maupun antara dua hal yang kontradiksi.
Jadi, pembahasan Ilmu Munasabah atau Ilmu Tanaasubul Ayat Was Suwar ini ialah macam-macam hubungan dan persambungan, serta kaitan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain, dan antara surah Al-Quran yang satu dengan yang lain, dalam berbagai bentuk persesuaian dan persambungan,

D.    Macam-macam Munasabah
Macam-macam munasabah dapat ditinjau dari dua segi, dari segi sifat dan segi materi munasabah.
1.      Berdasarkan Sifat Munasabah
Jika ditinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu :
a.       Persesuaian yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas yaitu yang bersambungan atau persesuaian antara bagian yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat. Karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali. Sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Sehingga ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surat al-Isra’:
Artinya:
“Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha”.
Ayat tersebut menerangkan Isra Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, ayat 2 surat al-Isra:
Artinya:
 “Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan kami jadikan Kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil”.
Ayat tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa as. Persesuaian antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua Nabi/Rasul tersebut.
b.      Persambungan tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh) atau samarnya persesuaian antara bagian al-Quran dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat atau surat itu sendiri-sendiri baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surat al-Baqarah dengan ayat 190 surat al-Baqarah. Ayat 189 surat al-Baqarah:
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”.
Ayat tersebut menerangkan bulan tsabit/tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji.
Sedangkan ayat 190 surat al-Baqarah:
Artinya:
 “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas”.
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya atau hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surat al-Baqarah mengenai soal waktu untuk haji, sedang ayat 190 surat al-Baqarah menerangkan: Sebenarnya, waktu  haji itu umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.
2.      Berdasarkan Materi Munasabah
Ditinjau dari segi materinya, maka munasabah itu ada 2 macam, sebagai berikut:
a.       Munasabah antar ayat, yaitu munasabah atau persambungan antara ayat yang satu dengan yang lainnya. Munasabah itu bisa berbentuk persambungan-persambungan, sebagai berikut :
1)      Diathafkan ayat yang satu kepada ayat yang lain, seperti munasabah antara ayat 103 surat Ali Imran :
Artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”.
Dengan surat Ali Imran ayat 102 :
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”.
Faedah dari munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan 2 ayat tersebut sebagai dua hal yang sama (An-Nadzraini). Ayat 102 surat Ali Imran menyuruh bertaqwa dan ayat 103 surat Ali Imran menyuruh berpegang teguh pada agama Allah, dua hal yang sama.
2)      Tidak diathofkan ayat yang satu kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat 11 surat Ali Imran:
Artinya:
“(keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami”.
Dengan ayat 10 surat Ali Imran:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka”
Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat yang kedua (ayat 11) dengan ayat yang sebelumnya (ayat 10), sehingga ayat 11 surat Ali Imran itu dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10 surat Ali Imran.
3)      Digabungkannya dua hal yang sama, seperti persambungan antara ayat 5 surat al-Anfal:
Artinya:
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”.
Dengan ayat 4 surat al-Anfal:
Artinya:
“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia”.
Kedua ayat itu sama-sama menerangkan tentang kebenaran, ayat 5 surat al-Anfal itu menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum mukminin.
4)      Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi (Al-Mutashaddatu). Seperti yang dikumpulkan ayat 95 surat al-A’raf:
Artinya:
“Kemudian kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: "Sesungguhnya nenek moyang kamipun Telah merasai penderitaan dan kesenangan"
Dengan ayat 94 surat al-A’raf:
Artinya:
“Kami tidaklah mengutus seseorang nabipun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri”.
Ayat 94 surat al-A’raf tersebut menerangkan ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tetapi ayat 95 surat al-A’raf menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan.
5)      Dipindahkannya satu pembicaraan, ayat 55 surat Shaad:
Artinya:
 “Beginilah (keadaan mereka). dan Sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk”
Dialihkan pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan kembali ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 surat Shaad yang membicarakan rezeki dari ahli surga:
Artinya:
 “Sesungguhnya Ini adalah benar-benar rezki dari kami yang tiada habis-habisnya”.
b.      Munasabah antar surat yaitu munasabah atau persambungan antara surat yang satu dengan surat yang lainnya.
Munasabah ini ada beberapa bentuk sebagai berikut:
1)      Munasabah antara dua surat dalam soal materinya, yaitu materi surat yang satu sama dengan materi surat yang lain.
Contohnya: seperti surat kedua al-Baqarah sama dengan isi surat yang pertama al-Fatihah, keduanya sama-sama menerangkan 3 hal kandungan al-Qur’an, yaitu masalah aqidah, ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman. Dalam surah al-Fatihah semua itu diterangkan secara ringkas, sedang dalam surah al-Baqarah dijelaskan dan dirinci secara panjang dan lebar.
2)      Persesuaian antara permulaan surat dengan penutupan surat sebelumnya. Sebab semua pembukaan surat itu erat sekali kaitannya dengan akhiran dari surat sebelumnya, sekalipun sudah dipisah dengan basmalah.
Contohnya: seperti awalan dari surat al-An’am:
Artinya:
“Segala puji bagi Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”.
Awalan surat al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surat al-Maidah:
Artinya:
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Dan seperti antara awalan surat al-Hadid:
Artinya:
 “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Awalan surat al-Hadid tersebut sesuai dengan akhiran surat al-Waqi’ah:
Artinya:
 “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar”.
3)      Persesuaian antara pembukaan dan akhiran sesuatu surat. Sebab, semua ayat dari sesuatu surat dari awal sampai akhir itu selalu bersambungan dan bersesuaian.
Contoh: seperti persesuaian antara awal surat al-Baqarah:
Artinya:
“Alif laam miin. Kitab (Al Qur’an) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”
Awal surat al-Baqarah tersebut sesuai dengan akhirnya yang memerintahkan supaya berdo’a agar tidak disiksa Allah, bila lupa atau bersalah:
Artinya:
 “Beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Dan seperti persesuaian antara awal surat al-Mukminun:
 Artinya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”
Dengan akhiran surat tersebut:
Artinya:
 “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”.

E.     Urgensi dan Kegunaan Munasabah
Ilmu munasabah Al-Qur’an sangat penting dikuasai dalam menafsirkannya. Ia sangat membantu mufassir dalam memahami dan mengeluarkan isi kandungannya. Memahami Al-Qur’an dengan bantuan ilmu munasabah berarti mengistinbatkan makna ayat sesuai dengan konteksya. Tanpa memperhatikan aspek munasabah mungkin akan terjadi pemahaman di luar konteks ayat, bahkan bisa keliru dalam memahaminya. Muhammad ‘Abdullah Darraz berkata: “Sekalipun permasalahan-permasalahan yang diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat semestinyalah ia memperhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memerhatikan segala permasalahannya.”[11]
Ayat-ayat Al-Qur’an banyak bercerita tentang umat-umat terdahulu, baik peristiwa yang berlaku pada mereka maupun kewajiban-kewajiban yang pernah dibebankan atas mereka. Jika suatu ayat dipelajari, tanpa melihat keterkaitannya dengan ayat-ayat lain, maka mungkin akan terjadi penetapan hukum yang sebenarnya hukum itu hanya dibebankan kepada umat sebelum Nabi Muhammad saw, yang tidak diwajibkan kepada umat Muhammad.
Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari Ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut:[12]
1.      Dapat mengembangkan bagian anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya. Contohnya pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 189 yang artinya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Q.S. Al-Baqarah:189)

Orang yang membaca ayat tersebut tentu akan bertanya-tanya: Apakah korelasi antara pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi rumah. Dalam menjelaskan munasabah antara kedua pembicaraan itu, Az-Zakarsy menjelaskan:

“Sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan mempunyai kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyaan tentang hal itu, dan perhatikanlah sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan merupakan sebuah kebaikan.[13]

2.      Mengetahui atau persambungan/hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat atau antarayat maupun antarsurat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.      Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain. Sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya, bahwa Al-Qur’an itu betul-betul wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW.
4.      Dapat memebantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan  kalimat atau ayat yang lain, sehingga sangat mempermudah pengistimbatan hukum-hukum atau isi kandungannya.




BAB  III
PENUTUP

Kesimpulan
a.       Secara etimologi, munasabah semakna dengan mushakalah (serupa) dan muqarabah (kedekatan).
b.      Menurut pengertian terminologi, munasabah dapat didefenisikan sebagai berikut:
Ø  Menurut Az-Zarkasyi: “Munasabah adalah suatu hal yang dapt dipahami.tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan diterima”.
Ø  Menurut Manna’ Al-Qaththan: “Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada beberapa ayat, atau antar surat (di dalam Al-Quran)”.
Ø  Menurut Ibn Al-‘Arabi: “Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunnyai kasatuan makna dann keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”.
Ø  Menurut Al-Biqa’i: “Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat”.
c.       Beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah yaitu:
1.      Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2.      Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3.      Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
4.      Dalam mengambil kesimpulannya, hendaklah memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan
d.      Pembahasan Ilmu Munasabah atau Ilmu Tanaasubul Ayat Was Suwar ini ialah macam-macam hubungan dan persambungan, serta kaitan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain, dan antara surah Al-Quran yang satu dengan yang lain, dalam berbagai bentuk persesuaian dan persambungan.
e.       Macam-macam munasabah dapat ditinjau dari dua segi, dari segi sifat dan segi materi munasabah:
1.      Berdasarkan sifat munasabah, dibagi menjadi dua, yaitu:
Ø  Persesuaian yang nyata (Dzaahirul Irthibah) atau persesuain yang tampak jelas.
Ø  Persambungan yang tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh) atau persesuaian yang samar.
2.      Berdasarkan materi munasabah, dibagi menjadi dua, yaitu:
Ø  Munasabah antar ayat
Ø  Munasabah antar surah
f.       Kegunaan munasabah:
1.      Dapat mengembangkan sementara anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
2.      Mengetahui atau persambungan/hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat atau antarayat maupun antarsurat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.      Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4.      Dapat memebantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan  kalimat atau ayat yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Ad-Darraz, ‘Abdullah. 1974. An-Naba’ Al-‘Azhim. Mesir: Dar Al-‘Urubah.
Al-Biqai, Burhanuddin. 1969. Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa As-Suwar, Jilid I. India: Majlis Da’irah Al-Ma’arif An-Nu’maniyah bi Haiderab.
Anwar, Rosihon. 2012. Ulum Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia.
As-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t.
Badr Ad-Din Muhammad bin ‘Abdillah Az-Zarkasyi. Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran.
Djalal, Abdul. 2011. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
M. Yusuf, Kadar. 2009. Studi Al-Quran. Jakarta: Amzah.
Manna’ Al-Qaththan. 1973. Mahabits fi ‘Ulum Al-Quran. Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, ttp.,
Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Husni. 1999. Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Quran, terj. Rosihon Anwar. Bandung: Pustaka Setia.


[1]               Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., Jilid I, hlm. 108.
[2]               As-Sayuti. Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Jilid II, Beirut: Al-Maktabah As-Saqafiyyah, tt., hlm. 108.
[3]               Bard Ad-Din Muhammad bin ‘Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, jlilid I, hlm. 35.
[4]               Ibid
[5]               Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, ttp., 1973, hlm. 97.
[6]               Ibid
[7]               Burhanuddin Al-Biqa’I, Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa As-Suwar, Jilid I, Majlis Da’irah Al-Ma’arif An-Nu’maniyah bi Haiderap, India, 1969, hlm. 6.
[8]               Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Husni, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Quran, terj.Rosihin Anwar, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm. 305.
[9]               Qaththan, op. cit. hlm. 98.
[10]             As-Suyuthi, Al-Itqan…, hlm. 110.
[11]             ‘Abdullah Ad-Darraz, An-Naba’ Al-‘Azhim, Dar-‘Urubah, Mesir, 1974, hlm. 159.
[12]             Qaththan, op. cit., hlm. 97. Abdul Djalal, Ulumul Quran, Dunia Ilmu, Surabaya, 2000, hlm. 164-165.
[13]             Al-Zarkasyi, op. cit., hlm. 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar