BAB II
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kitab
suci Al-Qur’an berisi berbagai macam petunjuk dan peraturan yang disyariatkan
karena beberapa sebab dan hikmah yang bermacam-macam. Ayat-ayatnya diturunkan
sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan. Susunan ayat-ayat dan
surah-surahnya ditertibkan sesuai dengan yang terdapat dalam lauh mahfudh,
sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain
dan antara surah yang satu dengan surah yang lain.
Karena
itu, timbul cabang dari Ulumul Qur’an yang khusus membahas
persesuaian-persesuaian tersebut, yaitu yang disebut Ilmu Munasabah atau Ilmu
Tanaasubil Ayati Was Suwari. Ulama yang pertama kali manaruh perhatian pada
Ilmu Munasabah ini menurut As-Suyuthi, adalah Syekh Abu Bakar An-Naisaburi (324
H), kemudian menyusul beberapa ulama ahli tafsir seperti Abu Ja’far bin Jubair
dalam kitabnya Tartib As-Suwar Al-Quran,
Syekh Burhanuddin Al-Biqa’I dengan bukunya Nazhm
Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayyi wa As-Suwar, As-Suyuthi sendiri dalam bukunya Asrar Al-Tartib Al-Quran.[1] Di antara ulama lain yang
menulis dalam bidang ini adalah Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin Al-Zubair
Al-Andalusi (w. 807 H) dalam karyanya Al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar
Al-Quran.
B.
Tujuan Pembahasan
Untuk
mengetahui pengertian munasabah, cara mengetahui munasabah, pokok pembahasan
munasabah, macam-macam munasabah, serta urgensi dan kegunaan munasabah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Munasabah
Secara etimologi, munasabah semakna dengan mushakalah
dan muqarabah, yang berarti serupa dan
berdekatan. Secara istilah, munasabah
berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al-Quran.
Ibnu Arabi, sebagai mana dikutip oleh Imam As-Sayuti, mendefenisikan munasabah itu kepada ‘Keterkaitan
ayat-ayat Al-Quran antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia
terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapi dan sistematis.[2] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa munusabah adalah suatu ilmu yang
membahas tenntang keterkaitan atau keserasian ayat-ayat Al-Qur’an antara satu
dengan yang lain.” Istilah munasabah
digunakan dalam ‘illat dalam bab qiyas, dan berarti Al-wasf Al-muqarib li Al-hukm (gambaran yang berhubungan dengan
hukum).[3]
Menurut
pengertian terminologi, munasabah dapat didefenisikan sebagai berikut:
Ø Menurut Az-Zarkasyi:[4]
“Munasabah
adalah suatu hal yang dapt dipahami.tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal
itu akan diterima”.
Ø Menurut Manna’ Al-Qaththan:[5]
“Munasabah
adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau
antarayat pada beberapa ayat, atau antar surat (di dalam Al-Quran)”.
Ø Menurut Ibn Al-‘Arabi:[6]
“Munasabah
adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu
ungkapan yang mempunnyai kasatuan makna dann keteraturan redaksi. Munasabah
merupakan ilmu yang sangat agung”.
Ø Menurut Al-Biqa’i:[7]
“Munasabah
adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau
urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan
surat”.
Jadi,
dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an munasabah berarti menjelaskan korelasi makna
antarayat atau antarsurat, baik kolerasi itu bersifat umum atau khusus;
rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali); atau korelasi
berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.[8]
B.
Cara Menentukan Munasabah
Para ulama menjelaskan
bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi. Artinya, pengetahuan
tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik
dari Nabi maupun sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari
munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-Qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Syekh
‘Izzuddin bin ‘Abd As-Salam berkata: “Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi
kaitan antarkalam mengisyaratkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal
dengan bagian akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi pada berbagai sebab
yang berbeda, keterkaitan salah satunya dengan lainnya tidak menjadi syarat.
Orang yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak
dikuasainya.[9]
Untuk
meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Al-Qur’an
diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada
beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
1.
Harus
diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2.
Memperhatikan
uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3.
Menentukan
tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
4.
Dalam mengambil
kesimpulannya, hendaklah memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar
dan tidak berlebihan.[10]
C.
Pokok Pembahasan Munasabah
Pembahasan
Ilmu Munasabah ini terkait dengan bagian-bagian Ulumul Qur’an, baik ayat-ayat
ataupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain persesuaian dan
persambungannya. Hubungan dan persambungan dari bagian-bagian Al-Qur’an itu
bermacam-macam. Ada yang berupa hubungan antara makna umum dan khusus, atau
hubunngan pertalian (talazum), seperti hubungan antara sebab dengan akibatnya,
ilat dengan ma’lulnya, atau antara dua hal yang sama, maupun antara dua hal
yang kontradiksi.
Jadi,
pembahasan Ilmu Munasabah atau Ilmu Tanaasubul Ayat Was Suwar ini ialah
macam-macam hubungan dan persambungan, serta kaitan dari ayat-ayat Al-Qur’an
yang satu dengan yang lain, dan antara surah Al-Quran yang satu dengan yang
lain, dalam berbagai bentuk persesuaian dan persambungan,
D.
Macam-macam Munasabah
Macam-macam
munasabah dapat ditinjau dari dua segi, dari segi sifat dan segi materi munasabah.
1. Berdasarkan
Sifat Munasabah
Jika ditinjau dari segi
sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah
itu ada dua macam, yaitu :
a. Persesuaian
yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau persesuaian
yang tampak jelas yaitu yang bersambungan atau persesuaian antara bagian yang
satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat. Karena kaitan kalimat yang satu
dengan yang lain erat sekali. Sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat
yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Sehingga ayat-ayat
tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, seperti
persambungan antara ayat 1 surat al-Isra’:
Artinya:
“Maha Suci Allah, yang Telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha”.
Ayat
tersebut menerangkan Isra Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, ayat 2 surat al-Isra:
Artinya:
“Dan
kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan kami jadikan Kitab Taurat itu
petunjuk bagi Bani Israil”.
Ayat
tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa as.
Persesuaian antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya
kedua Nabi/Rasul tersebut.
b. Persambungan
tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh) atau
samarnya persesuaian antara bagian al-Quran dengan yang lain, sehingga tidak
tampak adanya pertalian untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat
atau surat itu sendiri-sendiri baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena
yang satu bertentangan dengan yang lain. Contohnya, seperti hubungan antara
ayat 189 surat al-Baqarah dengan ayat 190 surat al-Baqarah. Ayat 189 surat
al-Baqarah:
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang
bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji”.
Ayat
tersebut menerangkan bulan tsabit/tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk
jadwal ibadah haji.
Sedangkan
ayat 190 surat al-Baqarah:
Artinya:
“Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas”.
Ayat
tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat
Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya atau
hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan
antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surat al-Baqarah mengenai soal waktu
untuk haji, sedang ayat 190 surat al-Baqarah menerangkan: Sebenarnya, waktu haji itu umat Islam dilarang berperang, tetapi
jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas,
walaupun pada musim haji.
2. Berdasarkan
Materi Munasabah
Ditinjau
dari segi materinya, maka munasabah itu ada 2 macam, sebagai berikut:
a. Munasabah
antar ayat, yaitu munasabah atau persambungan antara ayat yang satu dengan yang
lainnya. Munasabah itu bisa berbentuk persambungan-persambungan, sebagai
berikut :
1) Diathafkan
ayat yang satu kepada ayat yang lain, seperti munasabah antara ayat 103 surat
Ali Imran :
Artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”.
Dengan
surat Ali Imran ayat 102 :
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”.
Faedah dari munasabah dengan athaf ini ialah untuk
menjadikan 2 ayat tersebut sebagai dua hal yang sama (An-Nadzraini). Ayat 102 surat Ali Imran menyuruh bertaqwa dan ayat
103 surat Ali Imran menyuruh berpegang teguh pada agama Allah, dua hal yang
sama.
2) Tidak
diathofkan ayat yang satu kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat 11
surat Ali Imran:
Artinya:
“(keadaan mereka) adalah sebagai
keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan
ayat-ayat Kami”.
Dengan
ayat 10 surat Ali Imran:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang
kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa)
Allah dari mereka. dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka”
Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat
antara ayat yang kedua (ayat 11) dengan ayat yang sebelumnya (ayat 10), sehingga
ayat 11 surat Ali Imran itu dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10
surat Ali Imran.
3) Digabungkannya
dua hal yang sama, seperti persambungan antara ayat 5 surat al-Anfal:
Artinya:
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu
pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal Sesungguhnya sebagian dari
orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”.
Dengan
ayat 4 surat al-Anfal:
Artinya:
“Itulah orang-orang yang beriman
dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di
sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia”.
Kedua ayat itu sama-sama menerangkan tentang
kebenaran, ayat 5 surat al-Anfal itu menerangkan kebenaran status mereka
sebagai kaum mukminin.
4) Dikumpulkannya
dua hal yang kontradiksi (Al-Mutashaddatu). Seperti yang dikumpulkan ayat 95
surat al-A’raf:
Artinya:
“Kemudian kami ganti kesusahan itu
dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan
mereka berkata: "Sesungguhnya nenek moyang kamipun Telah merasai
penderitaan dan kesenangan"
Dengan
ayat 94 surat al-A’raf:
Artinya:
“Kami tidaklah mengutus seseorang
nabipun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu),
melainkan kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya
mereka tunduk dengan merendahkan diri”.
Ayat 94 surat al-A’raf tersebut menerangkan
ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tetapi ayat 95 surat
al-A’raf menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan.
5) Dipindahkannya
satu pembicaraan, ayat 55 surat Shaad:
Artinya:
“Beginilah (keadaan mereka). dan Sesungguhnya
bagi orang-orang yang durhaka benar-benar (disediakan) tempat kembali yang
buruk”
Dialihkan
pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan kembali
ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 surat Shaad yang membicarakan
rezeki dari ahli surga:
Artinya:
“Sesungguhnya Ini adalah benar-benar rezki
dari kami yang tiada habis-habisnya”.
b. Munasabah
antar surat yaitu munasabah atau persambungan antara surat yang satu dengan
surat yang lainnya.
Munasabah ini ada beberapa bentuk
sebagai berikut:
1)
Munasabah antara dua surat dalam soal
materinya, yaitu materi surat yang satu sama dengan materi surat yang lain.
Contohnya:
seperti surat kedua al-Baqarah sama dengan isi surat yang pertama al-Fatihah,
keduanya sama-sama menerangkan 3 hal kandungan al-Qur’an, yaitu masalah aqidah,
ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman. Dalam surah al-Fatihah semua
itu diterangkan secara ringkas, sedang dalam surah al-Baqarah dijelaskan dan dirinci
secara panjang dan lebar.
2) Persesuaian
antara permulaan surat dengan penutupan surat sebelumnya. Sebab semua pembukaan
surat itu erat sekali kaitannya dengan akhiran dari surat sebelumnya, sekalipun
sudah dipisah dengan basmalah.
Contohnya:
seperti awalan dari surat al-An’am:
Artinya:
“Segala puji bagi Allah yang Telah
menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang
yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”.
Awalan
surat al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surat al-Maidah:
Artinya:
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan
langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.
Dan
seperti antara awalan surat al-Hadid:
Artinya:
“Semua yang berada di langit dan yang berada
di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Awalan
surat al-Hadid tersebut sesuai dengan akhiran surat al-Waqi’ah:
Artinya:
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama
Rabbmu yang Maha besar”.
3) Persesuaian
antara pembukaan dan akhiran sesuatu surat. Sebab, semua ayat dari sesuatu
surat dari awal sampai akhir itu selalu bersambungan dan bersesuaian.
Contoh:
seperti persesuaian antara awal surat al-Baqarah:
Artinya:
“Alif laam miin. Kitab (Al Qur’an)
Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”
Awal
surat al-Baqarah tersebut sesuai dengan akhirnya yang memerintahkan supaya
berdo’a agar tidak disiksa Allah, bila lupa atau bersalah:
Artinya:
“Beri
ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami,
Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Dan
seperti persesuaian antara awal surat al-Mukminun:
Artinya:
“Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman”
Dengan
akhiran surat tersebut:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada
beruntung”.
E.
Urgensi dan Kegunaan Munasabah
Ilmu
munasabah Al-Qur’an sangat penting dikuasai dalam menafsirkannya. Ia sangat
membantu mufassir dalam memahami dan mengeluarkan isi kandungannya. Memahami
Al-Qur’an dengan bantuan ilmu munasabah berarti mengistinbatkan makna ayat
sesuai dengan konteksya. Tanpa memperhatikan aspek munasabah mungkin akan
terjadi pemahaman di luar konteks ayat, bahkan bisa keliru dalam memahaminya.
Muhammad ‘Abdullah Darraz berkata: “Sekalipun permasalahan-permasalahan yang
diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan
pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang
hendak memahami sistematika surat semestinyalah ia memperhatikan
keseluruhannya, sebagaimana juga memerhatikan segala permasalahannya.”[11]
Ayat-ayat
Al-Qur’an banyak bercerita tentang umat-umat terdahulu, baik peristiwa yang
berlaku pada mereka maupun kewajiban-kewajiban yang pernah dibebankan atas
mereka. Jika suatu ayat dipelajari, tanpa melihat keterkaitannya dengan
ayat-ayat lain, maka mungkin akan terjadi penetapan hukum yang sebenarnya hukum
itu hanya dibebankan kepada umat sebelum Nabi Muhammad saw, yang tidak
diwajibkan kepada umat Muhammad.
Lebih
jauh lagi, kegunaan mempelajari Ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai
berikut:[12]
1.
Dapat mengembangkan
bagian anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan
relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya. Contohnya pada firman
Allah dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 189 yang artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,
tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung.” (Q.S. Al-Baqarah:189)
Orang
yang membaca ayat tersebut tentu akan bertanya-tanya: Apakah korelasi antara
pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi rumah. Dalam menjelaskan
munasabah antara kedua pembicaraan itu, Az-Zakarsy menjelaskan:
“Sudah
diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan mempunyai
kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyaan tentang hal itu,
dan perhatikanlah sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama
sekali bukan merupakan sebuah kebaikan.[13]
2.
Mengetahui atau
persambungan/hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat atau
antarayat maupun antarsurat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan
pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan
dan kemukjizatannya.
3.
Dapat diketahui
mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya
yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari
yang lain. Sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya, bahwa Al-Qur’an itu
betul-betul wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW.
4.
Dapat memebantu
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat
atau ayat dengan kalimat atau ayat yang
lain, sehingga sangat mempermudah pengistimbatan hukum-hukum atau isi
kandungannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
a.
Secara
etimologi, munasabah semakna dengan mushakalah (serupa) dan muqarabah (kedekatan).
b.
Menurut
pengertian terminologi, munasabah dapat didefenisikan sebagai berikut:
Ø Menurut Az-Zarkasyi: “Munasabah adalah suatu hal
yang dapt dipahami.tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan
diterima”.
Ø Menurut Manna’ Al-Qaththan: “Munasabah adalah sisi
keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada
beberapa ayat, atau antar surat (di dalam Al-Quran)”.
Ø Menurut Ibn Al-‘Arabi: “Munasabah adalah keterikatan
ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang
mempunnyai kasatuan makna dann keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu
yang sangat agung”.
Ø Menurut Al-Biqa’i: “Munasabah adalah suatu ilmu yang
mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian
Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat”.
c.
Beberapa langkah
yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah yaitu:
1.
Harus
diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2.
Memperhatikan
uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3.
Menentukan
tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
4.
Dalam mengambil
kesimpulannya, hendaklah memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar
dan tidak berlebihan
d.
Pembahasan Ilmu
Munasabah atau Ilmu Tanaasubul Ayat Was Suwar ini ialah macam-macam hubungan
dan persambungan, serta kaitan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang
lain, dan antara surah Al-Quran yang satu dengan yang lain, dalam berbagai
bentuk persesuaian dan persambungan.
e.
Macam-macam munasabah dapat ditinjau
dari dua segi, dari segi sifat dan segi materi munasabah:
1. Berdasarkan
sifat munasabah, dibagi menjadi dua, yaitu:
Ø Persesuaian yang nyata (Dzaahirul Irthibah) atau
persesuain yang tampak jelas.
Ø Persambungan yang tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh)
atau persesuaian yang samar.
2. Berdasarkan materi munasabah, dibagi menjadi dua,
yaitu:
Ø Munasabah antar ayat
Ø Munasabah antar surah
f.
Kegunaan
munasabah:
1.
Dapat
mengembangkan sementara anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema
Al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
2.
Mengetahui atau
persambungan/hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat atau
antarayat maupun antarsurat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan
pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan
dan kemukjizatannya.
3.
Dapat diketahui
mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya
yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari
yang lain.
4.
Dapat memebantu
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat
atau ayat dengan kalimat atau ayat yang
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Darraz, ‘Abdullah. 1974. An-Naba’ Al-‘Azhim. Mesir: Dar Al-‘Urubah.
Al-Biqai, Burhanuddin.
1969. Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayat
wa As-Suwar, Jilid I. India: Majlis Da’irah Al-Ma’arif An-Nu’maniyah bi
Haiderab.
Anwar, Rosihon. 2012. Ulum Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia.
As-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t.
Badr Ad-Din Muhammad bin ‘Abdillah Az-Zarkasyi. Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran.
Djalal, Abdul. 2011. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
M. Yusuf, Kadar. 2009. Studi Al-Quran. Jakarta: Amzah.
Manna’ Al-Qaththan. 1973. Mahabits fi ‘Ulum Al-Quran. Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, ttp.,
Muhammad bin
‘Alawi Al-Maliki Al-Husni. 1999. Mutiara
Ilmu-Ilmu Al-Quran, terj. Rosihon Anwar. Bandung: Pustaka Setia.
[1]
Jalaluddin As-Suyuthi,
Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., Jilid I, hlm. 108.
[2] As-Sayuti. Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Jilid II,
Beirut: Al-Maktabah As-Saqafiyyah, tt., hlm. 108.
[3] Bard
Ad-Din Muhammad bin ‘Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan
fi ‘Ulum Al-Qur’an, jlilid I, hlm. 35.
[4] Ibid
[5] Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an,
Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, ttp., 1973, hlm. 97.
[6] Ibid
[7] Burhanuddin
Al-Biqa’I, Nazhm Ad-Durar fi Tanasub
Al-Ayat wa As-Suwar, Jilid I, Majlis Da’irah Al-Ma’arif An-Nu’maniyah bi
Haiderap, India, 1969, hlm. 6.
[8] Muhammad
bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Husni, Mutiara
Ilmu-ilmu Al-Quran, terj.Rosihin Anwar, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm.
305.
[9]
Qaththan, op.
cit. hlm. 98.
[10]
As-Suyuthi,
Al-Itqan…, hlm. 110.
[11] ‘Abdullah
Ad-Darraz, An-Naba’ Al-‘Azhim,
Dar-‘Urubah, Mesir, 1974, hlm. 159.
[12] Qaththan,
op. cit., hlm. 97. Abdul Djalal, Ulumul Quran, Dunia Ilmu, Surabaya,
2000, hlm. 164-165.
[13] Al-Zarkasyi,
op. cit., hlm. 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar