BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Kata lelah menghadapi aneka masalah, seseorang
yang awam bertanya, "sesungguhnya apakah tujuan kita dihidupkan?"
Orang-orang yang menderita penyakit parah berkepanjangan juga melontarkan
pertanyaan serupa. Namun pertanyaan tersebut di luar dugaan beberapa kali
terlontar pula dari orang-orang yang kaya-raya. Padahal mereka punya rumah
mewah, beberapa mobil mahal, uangnya melimpah, dan hampir setiap hari
berfoya-foya. Tetapi ternyata rutinitas yang menggembirakan itu tidak selamanya
membuatnya bahagia. Malahan menjadikan mereka bosan. Pada batas kesadarannya,
mereka pun mengajukan pertanyaan yang sama. "Sebenarnya apakah tujuan
hidup kita?" Hanya orang-orang yang beriman yang memahami bahwa tujuan hidupnya
adalah untuk beribadah.
Sebagaimana
firman Allah:
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat.51:56)
Artinya:
Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya,
Maka sembahlah dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. apakah kamu
mengetahui ada seorang yang sama dengan dia (yang patut disembah)? (QS.
Maryam.19:65)
Jelaslah dalam keadaan bagaimana pun, orang-orang beriman menyadari tujuan hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Jika miskin ia akan berusaha sekuat tenaga mencari nafkah, karena bekerja itu terhitung ibadah. Apabila kaya-raya, ia juga bisa memanfaatkan harta-bendanya untuk beribadah kepada-Nya. Yakni dengan membantu meringankan beban fakir miskin, serta menyantuni dan menyekolahkan anak-anak yatim.[1]
Oleh sebab itu, alangkah baiknya
kita mengetahui dulu apa itu ibadah, hakikat ibadah, macam-macam ibadah, dan
hikmah dalam ibadah itu sendiri, yang akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan
makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ibadah
Secara etimologi (
bahasa),
Firman Allah:
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat.51:56)
Kata
Ibadah berasal dari bahasa Arab: ‘ibaada, ‘abada, ya’budu, yang artinya doa,
mengabdi, tunduk, atau patuh (kepada Allah).
Secara Terminologis (istilah),
pengertian Ibadah menurut Hasbi Al-Shiddieqy dalam Kuliah Ibadah-nya
(1994:2-4), mengungkapkan:
Menurut ulama Tauhid, iabadah adalah:
“Pengesaan Allah dan
pengagungan-Nya dengan sepenuh hati dan dengan segala kerendahan dan kepatuhan
diri kepada-Nya.”
Menurut ulama Akhlak, ibadah adalah:
“Pengamalan segala
kepatuhan kepada Allah secara badaniah, dangan menegakkan syariah-Nya.”
Menurut ulama Tasawuf, ibadah adalah:
“Perbuatan mukalaf yang
berlawanan dengan hawa-nafsunya untuk mengagungkan Tuhannya.”
Sedangkan menurut ulama Fikih, ibadah
adalah:
“Segala kepatuhan yang
dilakukan untuk mencapai rida Allah, dengan mengharapkan pahala-Nya di
akhirat.”
Menurut jumhur ulama:
“Ibadah adalah nama
yang mencakup segala yang disukai Allah dan yang diridai-Nya, baik berupa
perkataan maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun diam-diam.”
Agar
ibadah kita itu mendapatkan ridho dari Allah SWT, maka ada dua syarat yang
harus dipenuhi.
- Sah. Maksudnya perbuatan ibadah (misalnya sholat atau puasa atau haji yang kita kerjakan) tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
- Ikhlas, yakni mengerjakannya semata-mata karena Allah. Bukan karena mengharap dipuji oleh sesama manusia. "Dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati. (QS. Al-Baqarah. 2:139). Katakanlah (Hai Muhammad), "Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri." (QS.Az-Zumar.39:11-12)
B. Dasar Hukum
Allah SWT. berfirman:
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat.51:56)
Demikian pula firman Allah berikut:
Artinya: Hai manusia, sembahlah
Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu
bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 2:21)
C. Hakikat Ibadah
Berdasarkan (QS.
Al-Dzariyat. 51:56) di atas dan pengertian para ulama, baik dalam arti khusus
maupun dalam arti luas, seorang muslim maupun non-muslim, bahkan bagi manusia
pada umumnya, ibadah merupakan konsekuensi hidupnya sebagai makhluk ciptaan
Allah. Manusia ditakdirkan sebgai makhluk yang mempunyai kelebihan akal dari
makhluk lainnya (QS.Al-Tin.94:3). Kenyataannya, manusia tidak selalu
menggunakan akal sehatnya, bahkan ia lebih sering dikuasai nafsunya, sehinnga
ia sering terjerumus ke dalam apa yang disebut dehumanisasi, yaitu proses yang menyebabkan kerusakan, hilang, atau
merosotnya nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah perlunya agama bagi manusia.
Sebagai makhluk yang
mempunyai kelebihan akal, manusia memiliki berbagai naluri dalam rangka
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Di samping itu, ia juga memiliki: (1)
naluri ego, (2) naluri intelek, (3) naluri etik-estetik, (4) naluri sosial, dan
(5) naluri agama.[2]
Dengan naluri-naluri tersebut, manusia menyadari bahwa dirinya merupakan bagian
dari alam yang disiptakan Tuhan, sehingga hal itu mendorongnya untuk hidup
berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada-Nya.
Dengan agama, hidup
manusia menjadi bermakna. Makna agama terletak pada fungsinya sebagai control
moral manusia. Melaui ajaran-ajarannya, agama menyuruh manusia agar selalu
dalam keadaan sadar dan menguasai diri. Keadaan tersebutlah yang merupakan
hakikat agama, atau hakikat ibadah. Malalui ibadah (pengabdian) kepada Allah,
hidup manusia terkontrol. Di mana pun dan dalam keadaan apa pun, manusia
dituntut untuk selalu dalam keadaan sadar sebagai hamba Allah dan mampu
mengusai dirinya, sehingga segala sikap, ucapan, dan tindakannya selalu dalam
kontrol ilahi.
D.
Macam-macam
Ibadah
1. Klasifikasi
Ibadah
Berdasarkan
firman Allah dalam (QS. Al-Dzariyat.51:56) ibadah dapat diklasifikasikan kepada
(1) ibadah “mahdhah” murni dan (2) ibadah “ghairu mahdhah” tidak murni. Ibadah mahdhah adalah ibadah dalam arti khusus,
yaitu segala pengabdian manusia (hamba) kepada Allah secara langsung sesuai
dengan ketentuan (baca: syarat dan rukun) yang telah ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya, seperti: shalat dan puasa. Ibadah mahdhah juga disebut muamalah
ma’a al-klaliq (hubungan dalam arti hubungan hamba dengan Allah) atau ibadah ghairu ma’qulati al-ma’na (ibadah
yang tidak dapat dipahami maknanya).
2. Ruang
Lingkup Ibadah
Ibadah
dalam arti khusus (ibadah mahdhah) adalah termasuk bidang kajian fiqh
al-nabawi, yang meliputi: (1) taharah; (2) shalat, termasuk doa, zikir, dan tilawah
Al-Quran; (3) puasa; (4) zakat; (5) haji; (6) pengurusan jenazah; (7)
penyembelihan hewan; (8) sumpah dan nazar; (9) makanan dan minuman; (10) jihad.
Sedangkan ibadah dalam arti umum (muamalah) yang termasuk bidang kajian fiqh
ijtihadi adalah ibadah dalam arti:
(a) Muamalah
(habl min al-nas);
(b) Sistem
sosial kemasyarakatan atau sebuah istilah yang mencakup segala hal yang disukai
oleh Allah SWT.:
“Nama yang
mencakup segala hal yang disukai Allah dan yang diridhai-Nya, baik berupa
perkataan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tidak tampak.”
Dengan
kata lain, muamalah atau ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah dalam bentuk
sikap, ucap, dan tindakan seseorang yang dilakukan atas dasar: (1) niat yang
ikhlas, (2) dalam rangka mencapai rida Allah, (3) dalam bentuk amal shaleh,
yang pelaksanaannya diserahkan kepada pelakunya sesuai dengan situasi dan
kondisi.
Muamalah
adalah segala hal yang menyangkut segala urusan duniawi dengan segala bentuk
kemaslahatannya, seperti: sistem keluarga (perkawinan dan warisan), sistem
perekonomian, sistem hukum (perdata dan pidana), dan sistem politik
pemerintahan.[3]
E.
Hikmah
Ibadah
1. Tidak
syirik, seorang hamba
yang sudah berketapan hati untuk senantiasa beribadah menyembah kepada-Nya,
maka ia harus meninggalkan segala bentuk syirik. Ia telah mengetahui segala
sifat-sifat yang dimiliki-Nya adalah lebih besar dari segala yang ada, sehingga
tidak ada wujud lain yang dapat mengungguli Nya dan dapat dijadikan tempat
bernaung.
2. Memiliki
ketakwaan,
Sebagaimana firman Allah:
Artinya:
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa, (QS.al-Baqarah. 2:21)
Ada dua hal yang
melandasi manusia menjadi bertakwa, yaitu karena cinta atau karena takut.
Ketakwaan yang dilandasi cinta timbul karena ibadah yang dilakukan manusia
setelah merasakan kemurahan dan keindahan Allah SWT. Setelah manusia melihat
kemurahan dan keindahan Nya munculah dorongan untuk beribadah kepada Nya.
Sedangkan ketakwaan yang dilandasi rasa takut timbul karena manusia menjalankan
ibadah dianggap sebagai suatu kewajiban bukan sebagai kebutuhan. Ketika manusia
menjalankan ibadah sebagai suatu kewajiban adakalanya muncul ketidak ikhlasan,
terpaksa dan ketakutan akan balasan dari pelanggaran karena tidak menjalankan
kewajiban.
3. Terhindar
dari kemaksiatan,
Sebagaimana firmna Allah:
Artinya:...Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan
Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS.An-‘Ankabuut. 29:45)
Ibadah
memiliki daya pensucian yang kuat sehingga dapat menjadi tameng dari pengaruh
kemaksiatan, tetapi keadaan ini hanya bisa dikuasai jika ibadah yang dilakukan
berkualitas. Ibadah ibarat sebuah baju yang harus selalu dipakai dimanapun
manusia berada.
4. Berjiwa sosial, ibadah
menjadikan seorang hamba menjadi lebih peka dengan keadaan lingkungan
disekitarnya, karena dia mendapat pengalaman langsung dari ibadah yang
dikerjakannya. Sebagaimana ketika melakukan ibadah puasa, ia merasakan rasanya
lapar yang biasa dirasakan orang-orang yang kekurangan. Sehingga mendorong
hamba tersebut lebih memperhatikan orang-orang dalam kondisi ini.
5. Tidak
kikir,
Sebagaimna
firman Allah:
Artinya:
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya. (QS.Al-Baqarah. 2:177)
Harta yang dimiliki manusia pada dasarnya
bukan miliknya tetapi milik Allah SWT yang seharusnya diperuntukan untuk
kemaslahatan umat. Tetapi karena kecintaan manusia yang begita besar terhadap
keduniawian menjadikan dia lupa dan kikir akan hartanya. Berbeda dengan hamba
yang mencintai Allah SWT, senantiasa dawam menafkahkan hartanya di jalan Allah
SWT, ia menyadari bahwa miliknya adalah bukan haknya tetapi ia hanya
memanfaatkan untuk keperluanya semata-mata sebagai bekal di akhirat yang
diwujudkan dalam bentuk pengorbanan harta untuk keperluan umat.
6.
Terkabul doa-doa nya,
Sebagaimana
firman Allah:
Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS.Al-Baqarah. 2:186)
Hamba
yang didengar dan dikabulkan doa-doanya hanyalah mereka yang dekat denga-Nya
melalui ibadah untuk selalu menyeru kepada-Nya.
7.
Memiliki
kejujuran,
Sebagaimana firman
Allah:
Artinya: Maka apabila kamu Telah menyelesaikan
shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu
berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS.An-Nisaa.4:103)
Ibadah berarti berdzikir (ingat) kepada
Allah SWT, hamba yang menjalankan ibadah berarti ia selalu ingat Allah SWT dan
merasa bahwa Allah SWT selalu mengawasinya sehingga tidak ada kesempatan untuk
berbohong.
8.
Sehat
jasmani dan rohani, hamba yang beribadah menjadikan gerakan shalat sebagai
senamnya, puasa menjadi sarana diet yang sehat, membaca Al Qur an sebagai
sarana terapi kesehatan mata dan jiwa. Insya Allah hamba yang tekun dalam
ibadah dikaruniakan kesehatan.[4]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Secara etimologi (bahasa), kata Ibadah
berasal dari bahasa Arab: ‘ibaada, ‘abada, ya’budu, yang artinya doa, mengabdi,
tunduk, atau patuh (kepada Allah).
2.
Secara Terminologis (istilah), pengertian
Ibadah menurut Hasbi Al-Shiddieqy dalam Kuliah Ibadah-nya (1994:2-4),
mengungkapkan:
a.
Menurut ulama Tauhid, iabadah adalah: “Pengesaan Allah dan
pengagungan-Nya dengan sepenuh hati dan dengan segala kerendahan dan kepatuhan
diri kepada-Nya.”
b.
Menurut ulama Akhlak, ibadah adalah: “Pengamalan segala kepatuhan kepada
Allah secara badaniah, dangan menegakkan syariah-Nya.”
c.
Menurut ulama Tasawuf, ibadah adalah: “Perbuatan mukalaf yang berlawanan
dengan hawa-nafsunya untuk mengagungkan Tuhannya.”
d.
Sedangkan menurut ulama Fikih, ibadah
adalah: “Segala
kepatuhan yang dilakukan untuk mencapai rida Allah, dengan mengharapkan
pahala-Nya di akhirat.”
e.
Menurut jumhur ulama:“Ibadah adalah nama yang mencakup
segala yang disukai Allah dan yang diridai-Nya, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, baik terang-terangan maupun diam-diam.”
3.
Agar
ibadah kita itu mendapatkan ridho dari Allah SWT, maka ada dua syarat yang
harus dipenuhi adalah sah dan ikhlas.
4. Hikmah
ibadah
a.
Tidak syirik
b.
Memiliki ketakwaan
c.
Terhindar dari kemaksiatan
d.
Berjiwa
sosial
e.
Tidak kikir
f.
Terkabul doa-doa nya
g.
Memiliki
kejujuran
h.
Sehat
jasmani dan rohani
DAFTAR PUSTAKA
Shaleh,
Hasan. Studi Islam di Perguruan Tinggi,
Jakarta: ISTN. 2000.
Shaleh,
Hasan. dkk. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh
Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. 2008.
http://islamireligius.blogspot.com/2009/08/hikmah-ibadah.html
(diakses 17 maret 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar